Monday, March 19, 2012

BEKERJASAMA DENGAN ALLAH DEMI KESEMBUHAN KITA

Renungan hari Selasa, 20 Maret 2012

Waktu itu saya pulang dari stasi dengan mengendarai sepeda motor. Karena ingin cepat tiba di rumah, saya memacu sepeda motor lebih cepat dan mendahului mobil-mobil di depan saya. Mendekati kota tempat saya tinggal, saya melihat langit mendung pertanda hujan mau turun. Saya pun memacu sepeda motor saya lebih kencang dan menyalip mobil Kijang Innova di depan yang juga melaju cukup kencang. Ketika saya mendahului mobil tersebut, seorang pria sinting yang sedang melintas di pinggir jalan raya terkejut dan melompat hampir tercebur ke lumpur. Karena keterkejutannya yang luar biasa itu, ia pun marah dan memaki-maki sambil menunjuk-nunjuk ke arahku: ‘Hoi orang gila! Gila kau…! Gila kau…!’ katanya kepada saya sambil mengomel. Tetapi saya tidak menghiraukannya karena saya tahu ia orang gila.

Saudara-saudari tercinta. Adakah orang gila pernah merasa dirinya gila? Pernahkah Anda melihat dua orang gila saling berkelahi dan saling menuduh bahwa lawannya itu gila, sementara dirinya tidak gila? Orang gila memang tidak tahu bahwa dirinya gila. Malah sebaliknya ia akan melihat orang sehat dan waras sebagai orang gila. Namun kita orang sehat bisa mengetahui dengan jelas seseorang sudah gila (abnormal). Jika orang gila tahu bahwa dirinya gila, berarti ia sebenarnya tidak gila. Apalagi kalau kegilaan itu sudah bertahun-tahun dialaminya, bisa jadi ia merasa bahwa ‘situasi gila’ itulah hidup yang normal dan sehat baginya.
Dalam Injil hari ini Yesus bertemu dengan seorang pemuda yang sakit sedang berbaring di dekat kolam Betesda. Ia sudah sakit selama 38 tahun. Usia 38 tahun tentu bukanlah usia yang pendek, tetapi juga bukanlah usia yang terlalu tua. Namun bisa terjadi jika penyakit yang muncul dalam diri seseorang itu timbul sejak kecil, orang yang mengalaminya tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Ia bahkan bisa menganggap bahwa apa yang dialaminya itu sebagai keadaan normal-normal saja. Sama seperti orang gila yang merasa dirinya tidak gila, dan malah menuduh orang sehat sebagai gila. Dan ia seolah-olah nyaman dengan keadaan tersebut. Namun untuk orang sehat tentu tidak. Orang sehat dan normal tahu membedakan mana orang sehat dan mana orang yang tidak sehat.

Karena itu, bisa dimengerti pertanyaan Yesus kepada si sakit yang berbaring di pinggir kolam Betesda tersebut: “Maukah engkau sembuh?” Pertanyaan ini ingin menggali jawaban kesadaran dari si pria, apakah ia merasa sakit atau tidak? Jika seandainya si pria itu menjawab begini: “Emangnya siapa sih yang sakit…? Saya gak sakit kog”. Apakah Yesus perlu menyembuhkannya? Namun jawaban si sakit itu benar-benar tulus dan memberi signal bahwa ia ingin sembuh, maka Yesus pun menolongnya. Ia sadar diri sebagai orang sakit. Dan ia tahu dan percaya bahwa orang ini (Yesus) akan sanggup mengubah dirinya. Selanjutnya Yesus dengan tak terduga malah menyuruhnya untuk BANGUN, MENGANGKAT TILAMnya dan BERJALAN. Tiga perintah Yesus ini tampaknya tidak masuk akal, karena pemuda itu bahkan untuk menggeser tubuhnya saja masuk ke dalam kolam ia tidak mampu. Bagaimana mungkin ia bangun, mengangkat tilam dan berjalan?

Di sinilah inti yang mau disampaikan Yesus, yakni setiap orang harus berusaha dan berjuang untuk membangun dirinya lebih baik. Kerjasama dari pihak yang ditolong harus sungguh ditampakkan. Yesus bisa saja membuatnya sehat seketika tanpa campur tangan si penderita. Tetapi dalam kasus ini, Yesus meminta kerjasama si sakit sebagai syarat mutlak. Mengapa Yesus tidak meminta orang lain membantu si sakit itu untuk bangun, mengangkat tilamnya dan membantunya berjalan? Karena Yesus ingin melihat kesungguhan dan kepercayaan si sakit tersebut. Yesus tidak menghendaki orang yang meminta itu hanya tinggal diam tanpa usaha. Pesan ini mengingatkan kita akan fenomena hidup kita, di mana kita sering meminta kepada Allah lewat doa, tetapi kita kurang berusaha. Bahkan kita sering meminta orang lain tidak mendoakan kita tetapi kita sendiri tidak berdoa. Bagaimana itu mungkin terjadi? Bagaimana mungkin seorang anak yang hendak ujian meminta orang lain berdoa bagi kesukesannya sementara ia sendiri tidak belajar? Apakah hanya berdoa dan berdoa membuat kita mampu menjawab soal ujian? Tidak! Ketika kita memohon kepada Allah lewat doa, kita juga harus berusaha dan berjuang. Inilah yang dimaksud dengan kerjasama dengan Allah. Marilah kita senantiasa bekerjasama dengan Allah sehingga kita pun mampu bangun dari kelemahan kita, mampu mengangkat tilam (beban kita), dan mampu berjalan. Tuhan memberkati.

No comments:

Post a Comment