Wednesday, March 21, 2012

TULISLAH KEBAIKANMU DI ATAS PASIR, UKIRLAH KEBURUKANMU DI ATAS BATU

Renungan pagi hari Kamis, 22 Maret 2012

Dalam sejarah hidup orang-orang Kudus, kita ketahui bahwa para kudus menjadi kudus bukan karena mereka sendiri menyatakan dirinya demikian. Allah sendirilah yang mengangkat mereka dan memasukkannya dalam jajaran para kudus lewat Bunda Gereja yang secara resmi mengkanonisasinya. Dengan melihat dan menyaksikan cara hidup dan iman mereka selama di dunia patutlah diberikan ganjaran setimpal kepada mereka dengan cara kanonisasi menjadi kudus. Kanonisasi itu biasanya berlangsung lama sejak kematian mereka atau bahkan bertahun-tahun kemudian setelah mereka wafat. Penetapan kanonisasi orang kudus dimulai dengan mengumpulkan bukti-bukti sahih, akurat, terpercaya, lewat mukjizat-mukjizat yang terjadi pada orang-orang tertentu dan lewat kesaksian-kesaksian orang-orang yang pernah dekat dengan mereka atau orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan mereka semasa hidupnya.

Para kudus tidak mengetahui bahwa mereka dikanonisasi menjadi orang kudus karena mereka sudah keburu meninggal. Orang yang di belakang merekalah yang bertindak untuk tugas mulia itu. Tetapi hal ini sangat baik karena kesaksian itu tidak muncul dari mulut para kudus itu sendiri. Jika seandainya mereka mewartakan diri sendiri dan menyatakan bahwa dirinya kudus pastilah kita berkata bahwa kesaksian itu palsu, atau paling tidak kita tak akan gampang percaya. Orang yang menyatakan dirinya baik sebenarnya bukanlah baik, dan orang yang menyatakan dirinya tidak berdosa sebenarnya dia adalah berdosa karena tidak ada manusia yang tidak berdosa. Lebih baiklah kita rendah hati dan melihat diri kita sebagai tidak layak di hadapan Allah. Dan lebih baiklah kita tidak menonjolkan diri kita sendiri di hadapan orang lain supaya kita tidak direndahkan mereka.

Yesus sendiri pun dalam Injil hari ini secara jelas menghindari penonjolan diri ini walaupun Ia sendiri adalah Allah. Ia justru membiarkan orang lain bersaksi tentang diri-Nya: ‘Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak benar, tetapi ada yang lain yang bersaksi tentang dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar” (Yoh 5:31-32). Lewat kesaksian orang-orang lain yang diilhami oleh Allahlah kita mengenal dan mengetahui siapa Yesus itu sebenarnya. Bahkan kesaksian tentang Yesus sendiri lebih hebat dari para kudus. Jika para kudus diberi kesaksian dan kanonisasi setelah kematiannya, Yesus bahkan lebih spektakuler, karena sebelum kelahiran-Nya pun Dia sudah dinubuatkan oleh para nabi Perjanjian Lama. Musa sendiri telah mencatat tentangNya dalam kitab-kitabnya (bdk. Yoh 5:46-47). Dengan kesaksian para orang terpercaya ini kita semakin diyakinkan tentang Keallahan Yesus. Ia adalah Putra Allah sendiri yang turun ke bumi menjadi manusia, yang telah diramalkan oleh para nabi dan hal itu dipertegas kembali setelah kelahiran, wafat dan kebangkitanNya yang mulia. Dia tidak bersaksi mewartakan diriNya sendiri, tetapi membiarkan orang lain menyatakan siapa diriNya yang sesungguhnya.

Sabda Yesus ini pun mengajarkan kepada kita semua kerendahan hati dengan tidak menonjolkan diri kita di hadapan Allah dan sesama kita. Jika kita ingin dikenal hebat dan baik, biarlah kita bertindak baik dan tidak perlu mengucapkannya bahkan memamerkannya di hadapan orang lain. Orang yang melihat dan mengalami kebersamaan dengan kita akan menilainya sendiri. Mereka akan memberi kesaksian tentang kita, dan kesaksian mereka bisa lebih dipercaya. Biarlah Allah sendiri dan teman-teman kita mengatakan kita baik dan saleh, karena penilaian itu akan dengan sendirinya muncul dari penglihatan dan pengalaman mereka. Janganlah kita gemar menuliskan kebaikan-kebaikan kita tetapi lebih bergunalah ketika kita menuliskan kekurangan dan keburukan kita supaya kita berjuang untuk semakin baik lagi. Lebih baik kita menuliskan kebaikan orang lain daripada kebaikan kita sendiri. Seorang guru spiritual berkata: “Tuliskanlah kebaikanmu di atas pasir pantai, tetapi ukirlah keburukanmu di atas batu”. Kiranya maksud dari kalimat itu jelas, yakni supaya kita tidak larut mengingat-ingat kebaikan kita, tetapi lebih baik merefleksi lebih lama keburukan dan dosa kita. Semoga Sabda Tuhan hari ini membimbing kita semakin rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Orang lain akan melihat kebaikan kita dan menyatakannya di hadapan umum. Dengan demikian kesaksian mereka itu akan lebih bermutu daripada kesaksian kita sendiri. Tuhan memberkati.

No comments:

Post a Comment