Monday, August 13, 2012

JIWA YANG MATI NURANI KEMANUSIAAN

(Kisah Nyata Pengidap HIV/AIDS Yang Dikucilkan)

Orang bilang ibu tiri lebih kejam. Tidak selamanya ibu tiri lebih kejam. Karena masih ada banyak ibu tiri yang sangat baik. Pengalaman sore ini setelah melay
ani misa di stasi TM (singkatan) mengatakan; saudara sekandungku dalam satu persekutuan Iman, saudara dan keluarga seiman yang disebut Katolik lebih kejam.

Saat hendak menghidupkan motor untuk kembali ke paroki, ibu HR mendekatiku dan membisikan kepadaku; pastor bisakah meluangkan waktu sejenak untuk mampir mengunjungi bapak BN yang sedang sakit. Beliau sudah dua tahun sakit pastor. Sakit Beliau adalah HIV/AIDS. Sontak aku kaget dan mencoba berpikir, yah secara manusiawi aku sedikit takut. Ibu HR menguatkanku, pastor selama ini hanya saya dan bapak yang mengunjungi Beliau. Kami sudah pasrah jika kamipun tertular penyakit itu. Akhirnya akupun dikuatkan dan digerakan nuraniku oleh semangat pengorbanan Ibu dan Bapak HR. Meski yang kutahu bahwa penyakit itu hanya menular melalui hubungan sex ataupun suntikan dan darah jika ada luka. Sepanjang perjalanan aku berdoa, menguatkan hatiku agar bahagia mengunjungi bapak BN. Apapun yang terjadi, aku siap menanggunya seperti nurani kemanusiaan bapak dan ibu HR.

Setiba di rumah, aku langsung menyalami bapak dan ibu BN dan menjabat tangan bapak BN seraya memperkenalkan diriku; saya pastor Kopong pak. Maklum daya ingat bapak BNpun mulai menurun sehingga sempat kebingungan mengenalku. Spontan bapak BN langsung menangis setelah mengenalku. Sang ibu BNpun ikut menangis dan terjadilan tangisan duka kekeluargaan: ibu dan bapak BN, ibu dan bapak HR, saya dan Rio di ruang tamu rumah keluarga bapak BN. Pastor, saya merasa Yesus hadir di gubuk kami ini. Doaku melalui novena terkabul, akhirnya Yesus melalui pastor hadir di gubuk kami ini memberikan kekuatan dan keteguhan iman bagiku, bagi bapak dan anak-anak kami. Selama ini hanya bapak dan ibu HR yang mengunjungi kami. Sedangkan keluarga kandung bapak bersama umat lain di stasi ini justru mengucilkan kami. Selama dua tahun sejak mengetahui penyakit bapak, kami dijauhkan. Bahkan di gerejapun saya sekelurga dikucilkan sehingga akupun mulai jarang ke gereja. Justru masyarkat dan tetangga di sekitar kami yang berbeda agama dengan kami setiap hari datang dan memberi kekuatan kepada bapak dan kami sekeluarga.

Mendengar ungkapan duka ibu BN, aku sungguh sakit dan marah dengan sebagian umatku sendiri yang setiap saat mengumbar cinta kasih namun justru mengucilkan dan menjauhkan saudara seiman dan seagama sendiri hanya karena sebuah penyakit yang disebut HIV/AIDS. Sungguh jiwa yang mengalami kematian hati nurani kemanusiaan. Harapan dan permintaan dari ibu BN, agar dilaksanakan doa di rumah merekapun agar keluarga mendapat kekuatan dan ketabahan iman malah tidak ditanggapi dan tidak dilayani. Benar-benar kejam lebih kejam dari ibu tiri. Pengabdian dan keaktifan bapak BN sekeluarga di gereja stasi sejak masih sehat kini dibalas dengan pengucilan dari sesama umat Katolik sendiri hanya karena penyakit HIV/AIDS yang mendera bapak BN. Sedang para tetangga, guru yang semuanya beragama Islam justru menunjukan cinta dan penerimaan dalam keterbukaan hati memberikan dukungan semangat, peneguhan iman bagi bapak BN sekeluarga.

Derai tangis belum juga berhenti. Di sela-sela ishak tangis kami, sang Istri berkata; Pastor meskipun bapak dalam kondisi seperti ini saya tidak mempersalahkan dia, tidak meninggalkan dia, bahkan jika Tuhan memanggilnya saya sudah siap Tuhan memanggilnya di tangan saya. Saya tetap setia mendampingi bapak. Ungkapan ketabahan dan kesetiaan dari seorang istri di tengah prahara yang sedang dialaminya mengungkapkan bahwa sang istri sungguh menjadi Roti Hidup bagi sang suami, tanda kehadiran Kristus yang menguatkan dan meneguhkan sang suami.

Tangisan belum juga berhenti. Kugenggam erat tangan ibu dan bapak BN seraya mengajak untuk berdoa bersama. Ishak tangis pak BN di sela-sela doa, membuat rasa haru kami semua. Aku sadar bahwa ishak tangis ini bukan semata-mata penyesalan atas penyakit yang dialaminya, tapi juga karena kerinduan untuk doa bersama umat stasi setempat yang tidak pernah ditanggapi dan dilayani kini akhirnya terpenuhi melalui kehadiranku bersama bapak dan ibu HR serta Rio.

Setelah berdoa, kamipun pamit sambil menyalami bapak dan ibu BN seraya menguatkan ibu BN untuk tetap ke gereja. Jangan malu dan takut bu. Karena ibu ke gereja bukan karena umat tapi iman ibu akan Yesus Kristus yang meneguhkan ibu dan menguatkan bapak. Jadi tidak usah pedulikan omongan orang. Aku ada dan siap untuk selalu datang mengunjungi bapak dan ibu, demikian pesanku pada ibu dan bapak BN. Bapak BN masih terus menangis mengantar kepulangan kami di depan pintu tamu. Aku tertunduk sedih, tak sanggup mengangkat muka menatap wajah duka ibu dan bapak BN yang dikucilkan oleh saudara, keluarga seiman Katolik di stasi TM. Rasa haru dan duka mengiringi kepulanganku meninggalkan rumah duka itu namun masih terselip rasa marah pada sebagian umat yang jiwanya mengalami kematian nurani kemanusiaan; yang tega mengucilkan dan menjauhkan bahkan tidak mau tahu dan tidak mau peduli dengan keadaan bapak BN serta harapan ibu BN akan doa bersama di rumah mereka.

Satu pinta dalam doaku; bapak dan ibu BN sekeluarga tetap tabah dan kuat dalam iman menjalani semuanya agar mampu memikul salib kehidupan mereka sebagai cara belajar memikul salib Yesus yang mana Yesuspun ditinggalkan oleh para rasulNya yang kini dialami juga oleh keluarga bapak dan ibu BN yang ditinggalkan oleh saudara dan keluarga umat stasi TM. Rasa syukur dan terima kasihku pada bapak dan ibu HR yang telah menjadi Simon dari Kirene yang ikut membantu memikul salib keluarga bapak dan ibu BN. Bapak dan ibu HR telah menjadi Roti Hidup, tanda kehadiran Kristus yang meneguhkan dan menguatkan iman keluarga bapak BN selama dua tahun ini di saat mayoritas umat stasi TM melarikan diri dan mengucilkan serta menjauhkan keluarga bapak BN. Ternyata saudara seiman lebih kejam; JIWA YANG MATI NURANI KEMANUSIAAN DARI MEREKA YANG MENYEBUT DIRINYA KATOLIK, PENGIKUT KRISTUS SEJATI.

No comments:

Post a Comment