Friday, August 17, 2012

SULITNYA MELAHIRKAN SEORANG IMAM



Tiga tahun atau bahkan empat tahun baru bisa mendapatkan dua atau malah satu orang Imam baru. Bangunan megah dengan sekitar 60an kamar itu sekarang hanya dihuni sekitar 15 orang frater atau calon imam. Dari
15 frater itu belum tentu juga akhirnya menjadi imam semua; yah demikianlah sabda Yesus; Banyak yang dipanggil namun satu atau dua yang dipilih atau Tuaian memang banyak tapi pekerja sedikit. Di tengah keterbatasan imam, yah kita tahu ada frater yang akhirnya memilih jalan untuk menempuh jalan kehidupan yang baru. Bahkan ada imam juga yang demikian. Kita tidak bisa mempersalahkan. Bahkan ada sudah pensiun bahkan ada yang meninggal dunia. Jumlah daerah misi dan pelayanan masih banyak yang membutuhkan tenaga-tenaga Imam untuk melayani dan mengembangkan Gereja. Artinya jumlah imam tidak sebanding dengan jumlah daerah misi dan pelayanan. Jumlah daerah misi lebih banyak dari pada jumlah tenaga imam.

Di tengah keterbatasan demikian dengan tuntutan umat yang begitu tinggi, seorang imam harus siap melayani, seorang imam harus sempurna yang diperparah dengan gosip-gosip atau surat-surat kaleng, kadang terpikir dalam benakku; apakah minimnya tenaga imam saat ini hanya dipikirkan oleh pihak tarekat dan atau pihak keuskupan? Umat yang penting tahu jadi, ada imam dan siap melayani. Memperihatinkan memang. Banyak tarekat imam, paling tidak kami MSF Provinsi Kalimantan berpikir dan merencanakan berbagai macam cara dan usaha untuk melahirkan para imam dengan menggalakan dan promosi panggilan bahkan sampai pada penggalangan dana dengan berbagai cara. Uang sakupun menjadi patungan bulanan untuk biaya pendidikan para calon imam kami sebagai salah satu bentuk dukungan dan usaha penggalian dana. Kadang kita merasa mendoakan para imam, calon imam dan panggilan itu sudah cukup sebagai tanggung jawab umat, dan soal ada imam atau tidak itu tanggung jawab Keuskupan atau Tarekat.

Di tengah situasi yang demikian, secara sadar ada ketegangan antara mempertahankan karya misi atau melepaskannya demi formatio (pendidikan dan pembinaan) para calon imam dan sebaliknya. Paling tidak seperti kami MSF sebagai tarekat misioner, di satu sisi ada tuntutan untuk menanggapi panggilan karya misi di daerah misi namun ada kemendesakan di dalam tarekat sendiri untuk menyediakan tenaga formatio bagi para calon imam. Kebingungan terjadi karena kembali pada masalah pokok kekurangan tenaga. Akhirnya kadang terjadi, satu tenga imam terpaksa dilepaskan dari tugas parokial dan dipersiapkan menjadi tenaga formatio. Atau yang sering terjadi, tenaga formatio terpaksa dikorbankan demi memenuhi tuntutan pelayanan karya misi. Harus menunggu 10an tahun baru bisa menghasilkan satu tenaga formatio di bidang pendidikan dan pendampingan para calon imam. Di tengah segala keprihatinan ini, kadang kita seakan cuek itu bukan tanggung jawab saya dan terus menuntut agar kebutuhan kita sebagai umat harus terpenuhi. Bahkan kadang bukannya kita ikut memikirkan bagaimana melahirkan imam-imam baru bersama Keuskupan atau Tarekat, namun malah menuntut imam harus sempurna: penampilan, kotbah harus menarik dan bagus yang kemudian diperparah dengan gosip, isu dan surat kaleng yang justru mematikan semangat panggilan Imam atau mereka yang ingin menjadi Imam. Kita semua prihatin tentunya, tapi mengapa keprihatinan itu harus dibalas dengan gosip, isu dan surat kaleng dan bukannya menasehati atau berkomunikasi secara langsung. Seandainya kita sadar, untuk melahirkan seorang Imam sangat-sangat sulit maka bukan lagi gosip, isu dan surat kaleng yang kita buat, melainkan bekerja sama dengan Keuskupan atau Tarekat untuk ikut memikirkan dan merencanakan cara-cara yang strategis dan efektif untuk melakukan penggalakan dan promosi panggilan dan kalau perlu mengulurkan tangan untuk ikut membantu biaya pendidikan satu orang calon imam saja melalui sumbangan pribadi walau tidak banyak.

Mari kita semua sadar bahwa BETAPA SULITNYA MELAHIRKAN SEORANG IMAM. Berhentilah sejenak untuk berharap banyak tetapi marilah kita bekerja sama sebagai satu Gereja dengan Keuskupan dan Tarekat sebagai bentuk tanggung jawab kita untuk pertumbuhan dan perkembangan Gereja. Tulisan ini bukan untuk mengemis, tapi mencoba untuk membuka dan membangun kesadaran kita bersama bahwa ditengah tuntutan kita sebagai umat yang tinggi dan berlebihan tanpa melihat situasi Keuskupan atau Tarekat saat ini ternyata; BETAPA SULITNYA MELAHIRKAN SEORANG IMAM!!. Selamat Merenung.

Aku mendamba Umat yang mau bekerjasama untuk melahirkan seorang Imam
Di pinggiran jalan A. Yani Banjarbaru:
Lie Jelivan msf

No comments:

Post a Comment