Tuesday, August 21, 2012

TIDAK SEKEDAR PEMIMPIN, TAPI KUALITAS PEMIMPIN


Pengalaman ditunda Kaul Kekal pada tahun 2005, awalnya menyakitkan, namun justru menjadi sukacita karena, aku sadar menjadi imam bukan sekedar memimpin misa artinya bukan sekedar menjadi imam yang tugasnya melayani sakramen, tetapi lebih dari itu pengalaman penundaan adalah pengalaman mengolah hidupku menuju kualitas sebagai pemimpin. Pengalaman penundaan adalah lahan kebun anggur yang harus diolah agar menghasilkan panenan hidup dan diri yang bermutu tanpa pernah berpikir kapan saya harus memanen hasil olahan itu, kapan saya harus memulai dan berhenti mengolah lahan itu.

Pada hari Minggu Panggilan 2011, seorang temanku dari Medan, anggota tarekat para suster FSE yang waktu itu teman seangkatan kuliah di Fakultas Teologi WedaBahkti Kentungan-Jogja menelphonku. Sambil bercanda dia bertanya; teman kapan kamu keluar? Saya bertanya balik; kenapa teman? Tidak, soalnya banyak teman angkatan kita yang kelihatan bain dan “suci” waktu kuliah kok cepat keluar dari imam, tapi kamu yang ambur adul waktu kuliah kok masih bertahan hingga saat ini, jelasnya. Mendengar itu saya hanya menjawab; teman menjadi Imam bukan sekedar menjadi pemimpin. Tuhan memilih saya bukan karena saya mau menjadi Imam atau gembala para dombaNya, melainkan karena Tuhan mau menjadikan saya sebagai sosok pemimpin yang berkualitas. Maka bukan terletak pada soal waktu, tapi pada bagaimana saya mengolah hidup dan diri saya untuk melahirkan kualitas kepemimpinan itu sendiri.

Sebagian pemimpin kita baik itu penguasa, imam, suster, bruder, DPP seringkali hanya sampai pada titik yang penting saya bisa menjadi pemimpin sebagaimana yang dicita-citakan. Artinya waktunya saya mau jadi penguasa maka cukuplah saya menjadi penguasa. Waktunya saya menjadi imam, maka baiklah saya berusaha agar kuliah selesai tepat waktu, cukuplah saya menghayati kaul kekal dan janji imamat, cukuplah saya berusaha agar sebisa mungkin bisa kaul kekal. Soal urusan menjadi pemimpin: penguasa, imam, suster dan bruder yang diharapkan itu urusan belakangan, yang penting apa yang saya cita-citakan bisa terwujud. Kita lebih mengedepankan apa yang menjadi harapan dan keinginan kita dari pada apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh situasi dan kebutuhan umat, para domba yang kita layani. Dan itu terjadi dalam kehidupan nyata hari ini bahwa di mana-mana masyarakat mengeluh, protes pada pemimpinnya dan juga mengeluh serta protes pada imamnya, susternya maupun brudernya dan juga DPPnya. Keluhan dan protes ini terjadi karena dalam perjalanan waktu kepemimpinan kita terlihat aslinya: berlaku tidak adil, menjadi pemimpin “murahan” asal babe senang, takut dijauhi maka lebih baik tidak usah melakukan konfrontasi, mudah disetir oleh DPP atau umat yang dekat karena kedekatan relasi dan sumbangan.

Kalau kita mau jujur, zaman sekarang banyak masyarakat dan umat kita menjadi Yehezkiel-Yehezkiel baru yang meratapi pemimpinnya: penguasa, imam, suster dan bruder serta DPPnya lantaran para pemimpin kita hanya menggembalakan diri sendiri atau kroninya atau yang selalu memberi sumbangan, para pemimpin kita hanya menikmati “susu” dari kempimpinannya dan membiarkan domba gembalaannya menikmati tuba, yang lemah, miskin disingkirkan, ditindas, dilayani paling terakhir dan bukannya diterima, dirangkul dan diberi pelayanan pertama, mereka yang lemah, terlantar bukannya dikunjungi tapi malah dijauhi yang pada gilirannya merek-mereka ini menjadi lawan terhadap pemimpinnya sendiri: penguasa, imam, suster, bruder dan DPP (Yeh 34:1-11).

Jika kita sadar, kita tidak sekedar Pemimpin: penguasa, imam, suster, bruder dan DPP yang hanya mengamini sumpah jabatan, janji imamat dan kaul kekal, tetapi lebih dari itu sejatinya yang paling penting adalah KUALITAS PEMIMPIN yang melayani dan bertindak adil bagi semua, yang murah hati namun bukan murahan, yang menguatkan yang lemah, merangkul dan mengunjungi yang tersingkirkan dan menyatukan semua kalangan karena bukan soal waktu kapan kita menjadi pemimpin tetapi lebih pada kita terbukan pada RAHMAT ALLAH dan menjadi BERKAT BAGI SEMUA ORANG YANG KITA LAYANI, SEPERTI YANG DITELADANKAN SANTA PERAWAN MARIA RATU DAN IBU KITA (Mat 20:1-14)

Menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan yang berkualitas
PW. SP. Maria Ratu: 22 Agustus 2012
Lie Jelivan msf

No comments:

Post a Comment