Renungan pagi hari Selasa, 15 Mei 2012
Seorang ibu (tanpa sebut nama) bercerita denganku tentang pengalaman hidupnya. Setiap kali dalam perjumpaan kami, ia selalu mengeluhkan beratnya beban yang ia tanggung, bahkan sudah pada tingkat stress berat. Ia tidak tahan diperlakukan majikannya dengan semena-mena. Ia tidak ingin mendengar teman sekerjanya mengejeknya sebagai karyawan yang tidak berilmu, karena pendidikannya hanya D1 sementara rekan kerjanya minimal D3, bahkan kebanyakan S1 dan S2. Beban berat di pundaknya tidak mampu lagi ia tanggung. Belum lagi persoalan rumah tangga yang semuanya seolah-olah hanya tanggung jawabnya sendiri mengurus 4 orang anak. Sedangkan suami, tidak usah ditanya. Biarlah ia melakukan apa yang ia kehendaki menuruti kesenangan dan hawa nafsunya. “Ini tahun paling berat dalam hidupku” katanya dengan linangan air mata.
Kisah hidup wanita ini memancing saya ikut terharu, dan menguji kesabaran saya untuk setia mendengarkannya, walaupun berat bagiku. Saya takut juga jangan—jangan cara saya membantunya akan membuat kami menjadi salah arah. Syukurlah bahwa hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Saya mencoba membantunya dengan mengisahkan pengalaman Paulus dan Silas di penjara Filipi. Oleh karena tugasnya yang mulia, Paulus dan Silas rela ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Bagi orang di luar penjara barangkali akan mengatakan, inilah akhir dari karya Paulus. Pemenjaraannya akan memaksanya berhenti mengkotbahi orang banyak. Bagi banyak orang, pengurungan seseorang dalam penjara sebagai akhir dari karir hebatnya. Singkat kata, pemenjaraan fisik adalah cara paling gampang mematikan kebebasan seseorang sehingga muncullah seperti kata-kata Yesus di salib: selesailah sudah! Tetapi pikiran itu ternyata salah. Apa yang terjadi di penjara Filipi adalah Paulus tidak terpuruk dan mati kutu dio penjara. Paulus dan Silas masih bisa berdoa dan mewartakan Injil di sana. Bahkan Paulus pun bisa bekerja di sana dengan menuliskan beberapa surat yang ia kirimkan untuk meneguhkan iman umat. Ketika terjadi keajaiban gempa bumi melanda kota itu sehingga pintu-pintu penjara terbuka lebar yang memungkinkan semua narapidana untuk kabur melarikan diri, Paulus dan Silas tidak melarikan diri.
Ia malah menghibur dan menguatkan penjaga pintu penjara yang berniat bunuh diri karena kejadian yang menghebohkan itu. Hal yang menakjubkan adalah, penjaga penjara itu malah bertobat dan memberi diri dibaptis bersama seluruh keluarganya setelah mendengar pengajaran Paulus. Pengalaman Paulus dan Silas ini memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa pengekangan dan beban berat ternyata bukan masalah yang perlu ditakutkan. Keberhasilan dan kemampuan kita untuk melewati segala rintangan, itulah yang membuat kita menang. Tidak perlu bersedih hati dan merasa diri terbuang bilamana tantangan datang silih-berganti dalam hidup kita. Orang lain di luar sana juga banyak menderita lebih berat dari kita. Badan bisa lemah tetapi jiwa kita haruslah tetapi hidup. Ingatlah semangat Paulus yang tidak memandang pemenjaraan sebagai pengekangan dan pematian semangatnya. Dalam situasi apa pun ia tetap bisa mewarta. Ia menerima semua pengalaman hidup itu dalam semangat iman. Hendaknya kita juga mampu bangkit dan tetap bersemangat walaupun dalam situasi yang berat. Yesus berkata dalam Injil kepada para murid yang bersedih karena merasa bahwa Yesus akan meninggalkan mereka: “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jika Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak adakan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu” (Yoh 16:7). Kita bisa merasa ditinggalakan Yesus ketika kita dalam masalah, tetapi Roh Penghibur selalu ada bersama kita. Roh itulah yang selalu menguatkan kita dan memberikan kemampuan bagi kita. Mohonkalah selalu pendampingan Roh itu dalam hidupmu. Ingatlah, deritamu bukanlah yang terberat dalam hidup ini!
No comments:
Post a Comment