Tuesday, July 31, 2012
PETUAH DAKWAH PERDAMAIAN
Ditemani sepiring pisang goreng hasil gorenganku dengan segelas teh kunikmati pagi sambil mengutak atik Fbku. Tidak lama seorang sahabatku, yang beberapa tahun bersama kami di Forum Pelangi, yang biasa disapa Aroh
dikalangangan teman-teman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Samarinda, menyapaku lewat chating FB. Sebuah obrolan yang baikku tidak sekedar obrolan, melainkan obrolan yang meneguhkan iman dan menguatkan perutusan untuk membawa sebuah pesan yang mengajak untuk membawa Dakwah (Penyiaran/Misi) Perdamaian. Demikianlah obrolan kami:
Pinaka Swasti Ratu : salam. apa kabar pak Ustaz???
Lie Jelivan Tuan Kopong : Aroh sehat selalu. gimana chabar Aroh?
Pinaka Swasti Ratu : Syukur.... Aroh juga baik selau... kapan ke bulungan pak ustaz???
Lie Jelivan Tuan Kopong : ni belum ada rencana Roh. kalau ada rencana pasti kuberitahu
Pinaka Swasti Ratu : gemana masih sering kumpul2 dg sahabat2...
Lie Jelivan Tuan Kopong : masih saudariku. tetap satu
Pinaka Swasti Ratu : Syukurlah... salam buat smuanya...
Lie Jelivan Tuan Kopong : Oke aroh. akan kusampaikan
Pinaka Swasti Ratu : Terimaksih Pak Ustaz. semoga sukses selalu dalam berdakwah perdamain negeri ini.
Lie Jelivan Tuan Kopong : sama-sama Aroh...dakwah perdamaian adalah misi kita bersama apapun tantangannya.
Pinaka Swasti Ratu : Mantaps, Siap. Semoga Tuhan selalu bersama Kita.
Dari obrolan singkat itu, ada harapan akan kebersamaan, ada kerinduan akan persatuan dalam damai yang terungkap lewat tanya; Kapan ke bulungan Pak Ustaz? gemana masih sering kumpul-kumpul dengan sahabat-sahabat?. Dan terbaca lewat nada salam, Syukurlah...salam buat semuanya. Obrolan ini mengantar aku pada kenangan persahabatan, dan perjuangan bersama Aroh dan sahabat-sahabat lainnya bahwa perdamaian adalah nilai tertinggi kehidupan dan dambaan setiap insan manusia.
Terkadang obrolan itu lewat begitu saja. Bahkan lebih menyedihkan; obrolan menjadi media ngegosip, wacana menceritakan kejelekan orang lain atau jalan mencuri kesempatan dalam rayuan dan gombal. Obrolan bisa menjadi sebuah bentuk Pewartaan dan Perutusan yang mengantar orang lain untuk mengalami kedamaian itu. Obrolan bisa menjadi rajutan benang perdamaian dalam persatuan dan persahabatan meski kita berbeda.
Dari obrolan sederhana di dunia maya FB akhirnya menjadi sebuah obrolan nyata ketika aku dikunjungi saudari-saudariku dari STAIN Samarinda yang juga adalah anggota PMII: Diajeng, Fai dan Ainy yang datang mengurai perbincangan seputar agamaku, dan sekitar agama mereka yang saling meneguhkan dan menguatkan, yang memberikan setetes kedamaian abadi karena bukan fitnah yang kami obrolkan tapi petuah penghargaan dan toleransi yang mengabadikan obrolan kami sebagai PETUA BERDAKWAH PERDAMAIAN di Negeri Anta Branta Indonesia. Semoga kita jadikan setiap detik obrolan kita sebaga PETUAH BERDAKWAH PERDAMAIAN....
Terima kasihku untuk Sahabat: Aroh, Diajeng, Fai dan Ainy
Salam Persaudaraan
DERITAKU, SUKACITAKU
Menyimak sepenggal bait lagu Obbie Mesakh: Kisah Kasih di Sekolah; “Malu aku malu pada semut merah”, aku terjaga dari lamunanku. Lagu kenangan yang membahasakan rasa kasmaran itu menyeruak dalam ruang relung bathinku d
i saat kubaca SabdaMu pagi ini (Mat 11:28-30). Aku malu, malu pada diriku, malu padaMu yang sekian lama mengikutiMu, datang padaMu, namun lebih banyak takut untuk belajar padaMu memikul salib kehidupanku.
Aku mengatakan kepadaMu bahwa aku begitu bahagia dan sukacita mengikutiMU. Aku setia menjadi pengikutMu. Namun aku sadar, Engkau sedang mentertawaiku sambil berkata; ah omong kosong, silahkan saja membohongi Aku terus, nyatanya kamu lebih mudah mengeluh, kamu begitu resa berkisah denganKu di dalam ruang gerejaKu, padahal waktu hanya satu setengah jam saja untukKu, seminggu sekali itu bagianKu, bahkan ketika Aku mau bersabda meneguhkan imanmu, engkau malah tawar menawar denganKu; jangan lama-lama yah...engkau lebih pentingkan kesenanganmu, pestamu dari pada menimba kekuatan dari padaKu.
Lagu itu dalam relung renung SabdaMu, membuatku tersadar bahwa aku lebih banyak membohongimu, mulai mencari alasan bahwa namanya juga manusia, yah...manusia yang kurang sempurna. Terlalu banyak akal aku berdalih, terlalu banyak kata aku beralasan hanya untuk menghindari CARA DAN SEMANGAT MENGIKUTIMU. Aku bangga pada mereka yang lemah, sakit dan bahkan cacat. Mereka justru bersemangat, penuh sukacita untuk datang kepadaMu, Belajar PadaMu dan mencoba memikul salibMu dalam hidup mereka yang bergulat dengan sakit mereka, yang berjuang dengan cacat mereka, mereka begitu setia dengan senyum sukacita menghiasi hidup mereka, karena mereka tak pernah mengeluh, lantaran mereka menerima sakit, penderitaan dan cacat mereka sebagai cara untuk belajar padaMu, belajar memikul salib seperti Engkau sendiri telah menunjukan bagaimana sukacita keselamatan itu lahir lantaran SALIBMU.
Aku dan Engkau mengenal Ade Maria Magdalena, yang menjalani sakitnya dengan penuh sukacita, bahkan di balik sakitnya, ia masih menghibur dan memberi semangat kepadaku yang sehat namun lebih banyak mengeluh, yang mengajariku bagaimana seharusnya aku kuat di saat aku mampu menyatukan rasa sakit dan deritaku dengan sakit dan deritaMu di atas Salib tapi aku malah sebaliknya; sedikit menghadapi persoalan hidup bukan Engkau yang aku datangi untuk menimba kekuatan dan kelegaan dariMu seraya memikul salib kehidupan ini, namun dugem jadi jalanku, jalan menebus frustrasi dan stresku yang semu. Aku, Engkau juga mengenal siapa itu Ela. Seorang gadis muda yang mengalami cacat mata (kebutaan) yang tak peduli malam atau hujan sebagai penghambat, tapi di balik kekurangan fisiknya Ela tetap bersukacita, menjadikan kebutaannya sebagai salib yang membawa sukacita pada yang lain dengan membagikan talenta bermain organ di gerejaMu. Aku, Engkau juga mengenal ade Desy, gadis belasan tahun yang harus menghuni kursi roda, yang kehadirannya di sekitar altarMu membawa sukacita bagi umat yang hadir. Ia selalu tersenyum menyapa dan menyalami setiap umatMu seakan tak ada derita yang dialaminya.
Meski hanya mereka bertiga yang kukenal, namun kehadiran mereka membuatku malu padaMu. Aku malu karena aku lebih mudah mengeluh, protes, aku lebih cepat beralasan dan stres dan bahkan menganggap setiap persoalan hidupku adalah ketidakadilanMu padaku. Namun kehadiran ade Lena, Ela dan Desy menyadarkan aku bahwa di balik DERITA ADA SUKACITA ketika aku mau datang dan belajar PadaMu untuk memperoleh kelegaan dan kesegaran. Perayaan Ekaristi menjadi tempat aku datang PadaMu untuk memperoleh kelegaan lewat Kuasa SabdaMu, dan Komuni Kudus adalah MAKANAN IMAN yang memberikan kekuatan kepadaku untuk BERKORBAN dengan tekun dan setia sebagai tindakan nyata aku belajar padaMu memikul setiap persoalan hidupku yang adalah salib meski harus menderita namun tetap tekun dan setia melayani. Malu...aku malu padaMu yang mengajarkan dan memberikan kelegaan padaku, namun aku lebih banyak lari dariMu di saat persoalan (salib) menghimpitku. Malu...aku malu padaMu, karena sekarang baru aku sadar; DERITAKU SUKACITAKU, LANTARA ENGKAU YANG MENGUATKANKU...meski aku belum mampu mengikuti cara dan semangat hidupMu.
Belajar mengikutiNya: Belajar berkorban pada Salib
LETIH ITU MEMBAHAGIAKAN
Perjalanan ini terasa menyedihkan, ada rasa stres menyatu dalam omelan. Ada rasa gerah menghentikan perjalanan panjang sudah disusuri. Lima kali berhenti akibat asam lambung naik membuatnya ingin beristirahat atau p
ulang ke Samarinda. Masih ada sedikit asa meneguhkan perjalanan, masih ada seberkas harap menguatkan jejak langkah di titian panjang ini. Mengarungi perjalanan dari jam setengah empat sore dan tiba di pelataran rumah tua itu pukul setengah empat pagi.
Tak peduli badan penuh bau keringat, tak peduli raga dikotori debu jalanan, dia langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur hingga pagi menjemput dalam guyuran deras hujan pagi. Tepat pukul 11.00 siang dia terbangung. Rasanya malas sekali untuk melanjutkan perjalan panjang kembali. Diapun mulai memutar otak mencari alasan untuk tidak berangkat. Telp dan sms dikirimkan untuk temannya di seberang sana yang ditempuh empat jam perjalanan menggunakan kelotok. Namun hati kecilnya tidak tenang. Ada rasa sedih tak memenuhi harapan mereka, ada rasa salah telah menipu diri dan menipu mereka. Ragam sms dan telp penuh harap dari seberang silih ganti mampir di layar hpnya yang dengan penuh harap menanti kedatangannya, kedatangan yang membawa sukacita, damai dan kekuatan untuk berjuang bersama. Kedatangan yang menumbuhkan Kasih bersama untuk mempertahankan tanah adat warisan leluhur tempat bertumbuhnya kedamaian dan kesejahteraan bersama.
Pukul 12.00 siang tanggal 25 Mei 2012, ditengai rinai gerimis siang, diapun akhirnya berangkat ke Pelabuhan menuju Long Hubung. Mahalnya harga sewa speed yang mencapai satu juta sembilan ratus ribu rupiah membuatnya berpikir panjang antar meneruskan perjalanan panjang atau berhenti kembali ke Samarinda. Sedang raga ini masih menyisahkan letih dan lelah ditambah lambungnya yang masih perih. Dia terus mencari perahu yang bisa mengantarkannya dengan harga yang wajar. Akhirnya diapun menemukan sebuah kelotok dengan harga sewa Rp. 500.000 meski harus menghabiskan empat jam lebih perjalanan menuju tempat tujuan, meski air hujan harus membasahi dirinya di tengah perjalanan. Di atas kelotok sesekali dia membaringkan tubuhnya untuk menghilangkan letih dan ngantuk yang tak bisa berkompromi dengan beralaskan koran yang dibelinya di pelabuhan Tering.
Ada tawa mengiringi perjalanannya, ada rasa kagum mengagumi karya ciptanya meski ada keluh memandang hancurnya wajah hutan dan kotornya air kehidupan yang adalah sumber kehidupan masyarakat adat sepanjang hulu Mahakam. Perjalanan panjang dalam letih dan lelah, dalam sakit dan stres, akhirnya melabukan dia di pelabuhan Long Hubung tepat jam 14.30 wita. Bergegas dia mengambil ransel dan menuju ke pastoran Long Hubung. 10 menit berjalan dari pelabuhan akhirnya dia tiba di ruang tamu pastoran Long Hubung. Rasa letihnya dan rasa letih kami yang sejak seharian menanti kedatangannya yang seharian bergumul dan bertahan mendengarkan penjelasan teman-temannya untuk membangun konsolidasi gerakan menjadi sukacita, kebahagiaan bersama. Kami mengalami kedamaian karena kehadirannya, senyum dan canda menghapus segala keletihan di wajahnya dan wajah kami.
Dalam letih dan lelahnya dia datang membawa Damai, dia hadir membagikan belas kasihNya lewat pengajaran dan perjuangan bersama kami. Dia tidak menghiraukan letihnya, dia cuek dengan sakitnya yang membuatnya hendak menyingkir sejenak dari kesibukannya dan hendak menyingkir dari kami, namun hatinya tergerak oleh Kasih Allah datang menjumpai dan mempersatukan kami serta membangun kekuatan dan semangat baru dalam diri dan masyarakat kami yang tercerai berai oleh karena kekuatan penguasa dan kapitalis yang merebut tanah kami. Kehadirannya adalah Belas Kasihnya untuk membawa sukacita dan damai bagi kami, menjadi kekuatan bagi kami untuk bersatu. Dalam letihnya dia mengajarkan kepada kami seperti ajaran dan perbuatan Sang Guru; membagikan kasih dan kedamaian bagi kami tanpa mempedulikan sakit dan letih yang sedang menggerogoti tubuhnya. Dia rela meninggalkan kesenangan pribadinya demi kedamaian dan kebahagiaan dalam semangat pengorbanan tulus tanpa pamri. Dia itu adalah sang Petualang Kasih yang disapa Sang Musafir...Mampukah kita seperti sang Musafir, meninggalkan segala kesenangan pribadi dan menjadikan letihnya untuk membahagiakan orang lami, yang menjadikan letihnya untuk membawa damai sejahterah dan semangat baru bagi kami yang tercerai berai oleh kekuasaan dan kapitalis sawit dan tambang? Selamat Merenung !!
Letih itu membahagiakan, karena Dia menguatkan
Minggu Biasa XVI: 22 Juli 2012 (Yer 23:1-6; Ef 2:13-18; Mrk 6:30-34)
CATATAN DUKA INA
24 Desember 2010, saat takbir sukacita malam Kudus, malam datangnya Raja Damai mengantarkan aku dalam tidur malamku, kubungkus sang Emanuel dalam selimut Kasihku, merindukan datangNya menyertai aku. Harapan menyongsongNya
dalam Fajar Harapan Baru kelahiranNya membuatku semakin kuat untuk menjalani kehidupanku ini. Membuatku semakin damai berada di antara saudara-saudariku yang silih berganti datang mengucapkan selamat Natal untukku.
KelahiranNya sebagai Saudara, ikut melahirkan banyak saudara, banyak saudari, banyak ibu baruku dalam satu iman yang memberi satu harapan bahwa kami adalah satu: satu dalam iman, harapan dan kasih untuk melaksanakan KehendakNya. Berada di tengah kesederhanan dan kekeluargaan menyemangatiku untuk tidak sekedar membuat kami satu saudara, satu ibu dalam satu Persekutuan Iman, melainkan menjadi kekuatan untuk melaksanakan KehendakNya yaitu menyebar kasih persaudaraan dalam semangat kekeluargaan. Di saat sukacita, kekeluargaan dan persaudaraan begitu meneguhkan dan menguatkan tapak jejak panggilanku ini, petaka yang tidak kuduga, bencana yang tidak kusangka menimpaku.
Malam sukacita, malam bahagia akan datangnya Sang Emanuel menjadi dukaku sepanjang masa, menjadi deritaku sepanjang zaman. Dia yang kusegani, kuhormati sebagai pengganti ayahku yang baru saja meninggalkan aku bersama ibu dan adik-adikku, dia yang kuterima sebagai pengayom, peneguh perjalanan panggilanku, akhirnya dia pula yang merampas mahkota kehidupanku di malam kudus itu dalam nada ancaman di tengah lelapku antara mimpi dan sadar dia berucap; jangan sampai aku melakukan tindakan bodoh jika kau melawan. Diam...atau kubunuh kau. Aku hanya menangis, merintih dan meratap dalam duka. Hidupku tak berarti lagi. Pagi-pagi aku kembali ke rumah, kusampaikan pada ibuku dan yang kuterima adalah tangisan duka keluarga.
Aku malu, malu pada diriku, malu pada Tuhanku, malu pada jalan panggilanku. Rasa maluku membuatku sadar bahwa meski catatan hitam ini menjadi luka bathinku sepanjang masa, namun adalah lebih baik kulepaskan kerudung suciku ini, karena bagiku di luar tembok biaraku akupun bisa melayani dan melaksanakan kehendak Tuhan bukan dalam topeng kebohongan dan kemunafikan, tetapi baiklah kulaksanakan kehendak Tuhan dalam hidupku sebagai seorang awam namun mampu bekerja sama dengan semua orang untuk terlaksanaknya Kehendak Tuhan lewat pemberian diri dan bakatku sebagai bentuk pelayananku pada Tuhan, sesama dan Gereja.
Dua tahun telah lewat. Aku berusaha bangkit untuk menata hidupku menatap masa depan. Semua kembali pada keputusan dan pilihanku untuk menjadi rekan sekerja, saudara seiman semua orang di dalam melaksanakan kehendak Tuhan. Dalam gelut perjuangan menata hidup membangun masa depanku; aku sadar ternyata saudara serumah, saudara seiman, saudara sepanggilan kadang lebih kejam dari pada saudara, keluarga yang kubangun karena bersama mau mewujudkan kehendak Tuhan lewat pelayanan tulus tanpa pamri. Kusadar bahwa ketika persaudaraan hanya karena hubungan darah, kekeluargaan hanya karena seiman seringkali justru mengantar pada semangat saling memanfaatkan, semangat saling menjatuhkan karena dasar bangunan persaudaraan dan kekeluargaan dibangun atas dasar suka sama suka atau karena kedekatan, kesamaan hoby, kesamaan suku, dan selera. Tapi ketika persaudaraan, kekeluargaan dibangun atas dasar kesadaran akan kehendak Tuhan, atas dasar Iman, Harapan dan Kasih maka persaudaraan dan kekeluargaan itu akan menjadi pancaran sukacita, damai yang memancarkan terang Kerajaan Allah karena bersama dengan peran masing-masing melaksanakan Kehendak Tuhan dalam semangat saling melindungi, saling mendukung dan saling meneguhkan (bdk. Mat 12:46-50).
Dalan ratap penuh duka...kutitipkan catatanku ini untuk mengingatkan kita semua bahwa kita bersaudara, berkeluarga karena kita beriman yang sama-sama melaksanakan kehendak Tuhan dan bukan karena melaksanakan kehendak pribadi yang membawa kehancuran dan duka. Semoga Persaudaraan dan Kekeluargaan kita menjadi jalan melaksanakan Kehendak Tuhan untuk saling melindungi, meneguhkan dan menguatkan dalam ziarah kehidupan kita. Jika kehendak pribadi yang dilaksanakan; maka kadang saudara, keluarga sendiri lebih kejam dari pada mereka yang berbeda agama, iman, suku dan budaya denganku justru lebih tulus dan melindungi karena bersama menjadi alat Tuhan untuk melaksanakan kehendakNya.
Catatan duka Ina di Malam Kudus
dalam Fajar Harapan Baru kelahiranNya membuatku semakin kuat untuk menjalani kehidupanku ini. Membuatku semakin damai berada di antara saudara-saudariku yang silih berganti datang mengucapkan selamat Natal untukku.
KelahiranNya sebagai Saudara, ikut melahirkan banyak saudara, banyak saudari, banyak ibu baruku dalam satu iman yang memberi satu harapan bahwa kami adalah satu: satu dalam iman, harapan dan kasih untuk melaksanakan KehendakNya. Berada di tengah kesederhanan dan kekeluargaan menyemangatiku untuk tidak sekedar membuat kami satu saudara, satu ibu dalam satu Persekutuan Iman, melainkan menjadi kekuatan untuk melaksanakan KehendakNya yaitu menyebar kasih persaudaraan dalam semangat kekeluargaan. Di saat sukacita, kekeluargaan dan persaudaraan begitu meneguhkan dan menguatkan tapak jejak panggilanku ini, petaka yang tidak kuduga, bencana yang tidak kusangka menimpaku.
Malam sukacita, malam bahagia akan datangnya Sang Emanuel menjadi dukaku sepanjang masa, menjadi deritaku sepanjang zaman. Dia yang kusegani, kuhormati sebagai pengganti ayahku yang baru saja meninggalkan aku bersama ibu dan adik-adikku, dia yang kuterima sebagai pengayom, peneguh perjalanan panggilanku, akhirnya dia pula yang merampas mahkota kehidupanku di malam kudus itu dalam nada ancaman di tengah lelapku antara mimpi dan sadar dia berucap; jangan sampai aku melakukan tindakan bodoh jika kau melawan. Diam...atau kubunuh kau. Aku hanya menangis, merintih dan meratap dalam duka. Hidupku tak berarti lagi. Pagi-pagi aku kembali ke rumah, kusampaikan pada ibuku dan yang kuterima adalah tangisan duka keluarga.
Aku malu, malu pada diriku, malu pada Tuhanku, malu pada jalan panggilanku. Rasa maluku membuatku sadar bahwa meski catatan hitam ini menjadi luka bathinku sepanjang masa, namun adalah lebih baik kulepaskan kerudung suciku ini, karena bagiku di luar tembok biaraku akupun bisa melayani dan melaksanakan kehendak Tuhan bukan dalam topeng kebohongan dan kemunafikan, tetapi baiklah kulaksanakan kehendak Tuhan dalam hidupku sebagai seorang awam namun mampu bekerja sama dengan semua orang untuk terlaksanaknya Kehendak Tuhan lewat pemberian diri dan bakatku sebagai bentuk pelayananku pada Tuhan, sesama dan Gereja.
Dua tahun telah lewat. Aku berusaha bangkit untuk menata hidupku menatap masa depan. Semua kembali pada keputusan dan pilihanku untuk menjadi rekan sekerja, saudara seiman semua orang di dalam melaksanakan kehendak Tuhan. Dalam gelut perjuangan menata hidup membangun masa depanku; aku sadar ternyata saudara serumah, saudara seiman, saudara sepanggilan kadang lebih kejam dari pada saudara, keluarga yang kubangun karena bersama mau mewujudkan kehendak Tuhan lewat pelayanan tulus tanpa pamri. Kusadar bahwa ketika persaudaraan hanya karena hubungan darah, kekeluargaan hanya karena seiman seringkali justru mengantar pada semangat saling memanfaatkan, semangat saling menjatuhkan karena dasar bangunan persaudaraan dan kekeluargaan dibangun atas dasar suka sama suka atau karena kedekatan, kesamaan hoby, kesamaan suku, dan selera. Tapi ketika persaudaraan, kekeluargaan dibangun atas dasar kesadaran akan kehendak Tuhan, atas dasar Iman, Harapan dan Kasih maka persaudaraan dan kekeluargaan itu akan menjadi pancaran sukacita, damai yang memancarkan terang Kerajaan Allah karena bersama dengan peran masing-masing melaksanakan Kehendak Tuhan dalam semangat saling melindungi, saling mendukung dan saling meneguhkan (bdk. Mat 12:46-50).
Dalan ratap penuh duka...kutitipkan catatanku ini untuk mengingatkan kita semua bahwa kita bersaudara, berkeluarga karena kita beriman yang sama-sama melaksanakan kehendak Tuhan dan bukan karena melaksanakan kehendak pribadi yang membawa kehancuran dan duka. Semoga Persaudaraan dan Kekeluargaan kita menjadi jalan melaksanakan Kehendak Tuhan untuk saling melindungi, meneguhkan dan menguatkan dalam ziarah kehidupan kita. Jika kehendak pribadi yang dilaksanakan; maka kadang saudara, keluarga sendiri lebih kejam dari pada mereka yang berbeda agama, iman, suku dan budaya denganku justru lebih tulus dan melindungi karena bersama menjadi alat Tuhan untuk melaksanakan kehendakNya.
Catatan duka Ina di Malam Kudus
Ulang Tahun
Sabtu, 28 Juli, adalah memang ulang tahunku, saat ini aku termenung atas diriku, bahwasanya aku telah banyak "menderita", aku telah mengalami banyak hal-hal tidak menyenangkan bebarapa hari terakhir ini, dalam gumamku bertanya; lantas apakah definisi “tidak bahagia” menurutku ???.
Sahabatku sekalian Yang senantiasa dirahmati ALlah, jika kita tahu penyebab ketidak bahagiaan kita, maka baru ada kem
ungkinan kita bisa mengupayakan kebahagiaan (ini menurutku). Tetapi sekali lagi yg ingin saya tekankan ialah, pada akhirnya bukan upaya kita yang mengantar kita menuju kebahagiaan.
Aku terus mengumpulkan berbagai fakta tentang diriku. Ya !, semua ini tentang saya, jadi maaf ya..., saudara-saudariku, kalo kalian merasa bosan dengan status / artikel tentangku selama ini. Karena saat ini aku hanya bisa mengumpulkan fakta-2 yang autentik tentang diriku sendiri saja.
Inilah saat-saat aku tidak bahagia, adalah saat-saat ;
- Aku tidak bisa mengekspresikan diriku sendiri, alias aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Berada dalam suatu lingkungan dimana kita sulit mengekspresikan diri kita dan menjadi diri kita sendiri akan membuat kita sengsara.
- Saat-2 aku melawan kata hatiku.. ya !, saat-2 aku sudah mendengar dengan jelas isi hatiku, tapi aku masih saja tidak bertindak dan tidak berani melakukan seperti apa yang benar-2 diinginkan oleh hatiku sebagai prinsip dasar.
- Saat-2 aku “hanya” bersandar dengan logikaku. Adalah saat-2 aku hanya mengandalkan otak ini / otakku sendiri saja untuk menyelesaikan pelbagai masalah. Saat-2 aku banyak melakukan perhitungan, apakah untung atau rugi nih.. Banyak sekali permasalahan terutama tentang perasaan, jiwa dan kehidupan yang tidak bisa diselesaikan dengan logika. Aku menjadi tumpul dan tidak berdaya.
- Saat2 aku “mulai” menyalahkan orang lain atas nasibku. Keadaan malah semakin memburuk, aku tidak melihat permasalahan yg sebenarnya dan aku semakin jauh dari solusi, aku tidak mengupayakan untuk memperbaiki keadaan yg buruk.
- Saa-2 aku “bermalas-2an”, makan, tidur dan tidak mengerjakan sesuatu yang berguna / bermanfaat.
- Saat-2 aku “mendengar” orang-2 disekitar yg mengaku seolah dirinya adalah paling jago / dewa / tua yg sedang berteriak-teriak atas nama "kebenaran" / agama / dsb, sejak kecil aku sudah trauma, tapi sekarang aku telah memandang dengan hambar, karena bagaimanapun mereka adalah manusia yang masih belajar.
- Saat2 dimana aku merasa “sendirian”. Aku merasa tidak ada sandaran.., Tidak Ada Tuhan.. Tidak Ada Malaikat..
- Saat-2 dimana aku tidak dapat beristirahat dengan baik dan bangun tidur dengan perasaan kusut..
Oke !, kira-kira fakta yang terkumpul tentang "ketidak - bahagiaan" aku adalah demikian adanya tersebut diatas, lantas bagaimana dengan kalian ???, wahai sahabat-sahabatku....:)
Tuhan, Engkau baik,
Kausempitkan aku
Dan tertutup segala pintu
Agar kucuma mengetuk perbendaharaan-Mu
--------------------------------------------------
Tuhan, Engkau baik,
Kaubuat aku buruk bagi sesama
Dan kehilangan tempat mengadu
Agar kucuma mengemis belas kasih-Mu
Tuhan, Engkau baik...
Kaupalingkan wajah para kekasih
Dan kuterbakar di hangus nestapa
Agar kucuma tersedu di sejuk bahu-Mu
Tuhan, Engkau baik...
Kaubuat dunia-akhirat menjauh
Agar sendirian saja aku di hadirat-Mu
Tuhan, Engkau Baik...
maka karuniakan sanggup atasku
mencinta-Mu
sebesar cinta-Mu padaku
Terima Kasih atas segala sesuatunya Tuhan......
dan terima kasih pula kuucapkan untuk kedua orang tua-ku, saudara-saudariku, kerabat dekat, serta para sahabat-sahabatku semua....
Tuhan, memberkati kita semua, amien..
Sahabatku sekalian Yang senantiasa dirahmati ALlah, jika kita tahu penyebab ketidak bahagiaan kita, maka baru ada kem
ungkinan kita bisa mengupayakan kebahagiaan (ini menurutku). Tetapi sekali lagi yg ingin saya tekankan ialah, pada akhirnya bukan upaya kita yang mengantar kita menuju kebahagiaan.
Aku terus mengumpulkan berbagai fakta tentang diriku. Ya !, semua ini tentang saya, jadi maaf ya..., saudara-saudariku, kalo kalian merasa bosan dengan status / artikel tentangku selama ini. Karena saat ini aku hanya bisa mengumpulkan fakta-2 yang autentik tentang diriku sendiri saja.
Inilah saat-saat aku tidak bahagia, adalah saat-saat ;
- Aku tidak bisa mengekspresikan diriku sendiri, alias aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Berada dalam suatu lingkungan dimana kita sulit mengekspresikan diri kita dan menjadi diri kita sendiri akan membuat kita sengsara.
- Saat-2 aku melawan kata hatiku.. ya !, saat-2 aku sudah mendengar dengan jelas isi hatiku, tapi aku masih saja tidak bertindak dan tidak berani melakukan seperti apa yang benar-2 diinginkan oleh hatiku sebagai prinsip dasar.
- Saat-2 aku “hanya” bersandar dengan logikaku. Adalah saat-2 aku hanya mengandalkan otak ini / otakku sendiri saja untuk menyelesaikan pelbagai masalah. Saat-2 aku banyak melakukan perhitungan, apakah untung atau rugi nih.. Banyak sekali permasalahan terutama tentang perasaan, jiwa dan kehidupan yang tidak bisa diselesaikan dengan logika. Aku menjadi tumpul dan tidak berdaya.
- Saat2 aku “mulai” menyalahkan orang lain atas nasibku. Keadaan malah semakin memburuk, aku tidak melihat permasalahan yg sebenarnya dan aku semakin jauh dari solusi, aku tidak mengupayakan untuk memperbaiki keadaan yg buruk.
- Saa-2 aku “bermalas-2an”, makan, tidur dan tidak mengerjakan sesuatu yang berguna / bermanfaat.
- Saat-2 aku “mendengar” orang-2 disekitar yg mengaku seolah dirinya adalah paling jago / dewa / tua yg sedang berteriak-teriak atas nama "kebenaran" / agama / dsb, sejak kecil aku sudah trauma, tapi sekarang aku telah memandang dengan hambar, karena bagaimanapun mereka adalah manusia yang masih belajar.
- Saat2 dimana aku merasa “sendirian”. Aku merasa tidak ada sandaran.., Tidak Ada Tuhan.. Tidak Ada Malaikat..
- Saat-2 dimana aku tidak dapat beristirahat dengan baik dan bangun tidur dengan perasaan kusut..
Oke !, kira-kira fakta yang terkumpul tentang "ketidak - bahagiaan" aku adalah demikian adanya tersebut diatas, lantas bagaimana dengan kalian ???, wahai sahabat-sahabatku....:)
Tuhan, Engkau baik,
Kausempitkan aku
Dan tertutup segala pintu
Agar kucuma mengetuk perbendaharaan-Mu
--------------------------------------------------
Tuhan, Engkau baik,
Kaubuat aku buruk bagi sesama
Dan kehilangan tempat mengadu
Agar kucuma mengemis belas kasih-Mu
Tuhan, Engkau baik...
Kaupalingkan wajah para kekasih
Dan kuterbakar di hangus nestapa
Agar kucuma tersedu di sejuk bahu-Mu
Tuhan, Engkau baik...
Kaubuat dunia-akhirat menjauh
Agar sendirian saja aku di hadirat-Mu
Tuhan, Engkau Baik...
maka karuniakan sanggup atasku
mencinta-Mu
sebesar cinta-Mu padaku
Terima Kasih atas segala sesuatunya Tuhan......
dan terima kasih pula kuucapkan untuk kedua orang tua-ku, saudara-saudariku, kerabat dekat, serta para sahabat-sahabatku semua....
Tuhan, memberkati kita semua, amien..
KUTUKAN MISIONARIS
( Relung Renung bersama Roedy Haryo )
Setelah check in di bandara Data Dawai Kecamatan Long Pahangai-Kabupaten Kutai Barat, saya bersama Rekan, sahabat dan saudara saya Mas Roedy Haryo ditemani Ketua Stasi Long Lunuk dan
seorang teman Pergerakan menyempatkan diri untuk melihat gereja peninggalan seorang Misionaris Belanda: Pater Pit Sinnema MSF di Stasi Long Lunuk yang tidak jauh dari Bandara Udara Data Dawai.
Rasa Bangga menyelinap saat melihat bangunan gereja yang unik dibangun sang Misionaris dengan ornamen-ornamen bermotif Dayak buatan tangan Sang Misionaris ini yang masih ada di dalam gerejanya. Rasa Bangga atas kerja keras Sang Misionaris yang memiliki kepekaan pelayanan akan kebutuhan umat dengan mendirikan Gereja di pertengahan Mahakam Hulu untuk memperpendek jarak dan memperlancar pelayanan. Ada sebuah bangunan yang dibangun dengan memasang antena radio orari sebagai alat komunikasi saat itu. Namun kini hanya tinggal antena dan bangunan itu. Usaha untuk memperlancar pelayanan dan kebutuhan umat serta masyarakat akan pelayanan transportasi maka Beliau berhasil membuka bandara yang saat ini dinikmati oleh seluruh masyarakat Mahakam Hulu yang melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat dari Samarinda-Data Dawai (pp).
Antara rasa bangga dan salut atas kerja keras sang Misionaris Rendah Hati dan memiliki banyak talenta di bidang informatika dan melukis ini ada rasa haru merenda duka saat menatap hamparan lingkungan gereja yang jadi tempat tinggal sapi masyarakat yang dipenuhi dengan kotorannya serta lingkungan yang tidak terawat dipenuhi rumput dalam kegersangannya. Ada usaha umat dengan swadaya sendiri untuk merawat lingkungan gereja dan berusaha memanfaatkan antena radio orari untuk radio FM yang dikelolah oleh OMK namun terhalang oleh kebijakan sang pemimpin yang ketat bahwa segala sesuatu yang dikerjakan di sekitar lingkungan gereja ini harus seijinnya, maka segalanya dibiarkan terlantar tanpa penghuni. Radio FM yang menjadi salah satu media komunikasi sekaligus media pewartaan dan sangat disenangi oleh umat dan masyarakat pada gilirannya hanya bertahan 3 bulan.
Usaha dan kerja keras sang Misionaris Sejati ini pada gilirannya hanya dikenang dengan sebuah nama jalan di jalan masuk gereja itu. Belajar, melihat salah satu peninggalan Misionaris yang tak terawat ini saya bersama Mas Roedy hanya mengatakan inilah mental kita. Peninggalan Para Misionaris hampir di seluruh wilayah daerah misi hanya tinggal nama namun tidak satupun aset peninggan bersejarah yang menuliskan jejak karya misi hampir tidak ditemukan lagi. Semuanya hilang tanpa bekas. Kita bisa melihat di keuskupan atau paroki dan stasi kita masing-masing. Paling banyak satu atau dua peninggalan para Misionaris yang ada dan kalaupun ada kebanyakan sudah tidak terawat lagi. Selebihnya hilang tanpa bekas. Mengharukan !!
Seiring perkembangan zaman, peninggalan para Misionaris sepertinya hanya menjadi sebuah nama. Kita merasa begitu sulit dan terbebani untuk merawatnya namun merasa bangga dengan menghancurkannya dan mendirikan bangunan megah layaknya istana penguasa. Atas nama pengembangan Gereja Lokal, pengembangan paroki dan stasi kita dengan mudah meluluhlantahkan warisan bersejarah para Misionaris dan menggantikannya dengan bangunan megah. Tugas kita hanya merawat, namun kita tidak bisa. Merawat peninggalan para Misionaris saja tidak bisa apalagi merawat iman umat. Kutukan para Misionaris itu bisa kita saksikan sekarang bahwa di mana-mana banyak yang lebih suka membangun bangunan megah daripada merawat dan mengembangkan peninggalan para misionaris sehingga lupa membangun kerohanian iman umat.Satu hal yang bisa kita petik dan menjadi himkah misi Gereja saat ini adalah: merawat dan mengembangkan peninggalan iman para Misionaris dan bukannya menghancurkannya. Jika kita tidak mampu merawatnya, apalagi membangunnya...semoga Kutukan Misionaris tidak menjadi tragedi dalam Gereja kita.
Jeritan Jejak Para Misionaris Ulu Riam
Setelah check in di bandara Data Dawai Kecamatan Long Pahangai-Kabupaten Kutai Barat, saya bersama Rekan, sahabat dan saudara saya Mas Roedy Haryo ditemani Ketua Stasi Long Lunuk dan
seorang teman Pergerakan menyempatkan diri untuk melihat gereja peninggalan seorang Misionaris Belanda: Pater Pit Sinnema MSF di Stasi Long Lunuk yang tidak jauh dari Bandara Udara Data Dawai.
Rasa Bangga menyelinap saat melihat bangunan gereja yang unik dibangun sang Misionaris dengan ornamen-ornamen bermotif Dayak buatan tangan Sang Misionaris ini yang masih ada di dalam gerejanya. Rasa Bangga atas kerja keras Sang Misionaris yang memiliki kepekaan pelayanan akan kebutuhan umat dengan mendirikan Gereja di pertengahan Mahakam Hulu untuk memperpendek jarak dan memperlancar pelayanan. Ada sebuah bangunan yang dibangun dengan memasang antena radio orari sebagai alat komunikasi saat itu. Namun kini hanya tinggal antena dan bangunan itu. Usaha untuk memperlancar pelayanan dan kebutuhan umat serta masyarakat akan pelayanan transportasi maka Beliau berhasil membuka bandara yang saat ini dinikmati oleh seluruh masyarakat Mahakam Hulu yang melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat dari Samarinda-Data Dawai (pp).
Antara rasa bangga dan salut atas kerja keras sang Misionaris Rendah Hati dan memiliki banyak talenta di bidang informatika dan melukis ini ada rasa haru merenda duka saat menatap hamparan lingkungan gereja yang jadi tempat tinggal sapi masyarakat yang dipenuhi dengan kotorannya serta lingkungan yang tidak terawat dipenuhi rumput dalam kegersangannya. Ada usaha umat dengan swadaya sendiri untuk merawat lingkungan gereja dan berusaha memanfaatkan antena radio orari untuk radio FM yang dikelolah oleh OMK namun terhalang oleh kebijakan sang pemimpin yang ketat bahwa segala sesuatu yang dikerjakan di sekitar lingkungan gereja ini harus seijinnya, maka segalanya dibiarkan terlantar tanpa penghuni. Radio FM yang menjadi salah satu media komunikasi sekaligus media pewartaan dan sangat disenangi oleh umat dan masyarakat pada gilirannya hanya bertahan 3 bulan.
Usaha dan kerja keras sang Misionaris Sejati ini pada gilirannya hanya dikenang dengan sebuah nama jalan di jalan masuk gereja itu. Belajar, melihat salah satu peninggalan Misionaris yang tak terawat ini saya bersama Mas Roedy hanya mengatakan inilah mental kita. Peninggalan Para Misionaris hampir di seluruh wilayah daerah misi hanya tinggal nama namun tidak satupun aset peninggan bersejarah yang menuliskan jejak karya misi hampir tidak ditemukan lagi. Semuanya hilang tanpa bekas. Kita bisa melihat di keuskupan atau paroki dan stasi kita masing-masing. Paling banyak satu atau dua peninggalan para Misionaris yang ada dan kalaupun ada kebanyakan sudah tidak terawat lagi. Selebihnya hilang tanpa bekas. Mengharukan !!
Seiring perkembangan zaman, peninggalan para Misionaris sepertinya hanya menjadi sebuah nama. Kita merasa begitu sulit dan terbebani untuk merawatnya namun merasa bangga dengan menghancurkannya dan mendirikan bangunan megah layaknya istana penguasa. Atas nama pengembangan Gereja Lokal, pengembangan paroki dan stasi kita dengan mudah meluluhlantahkan warisan bersejarah para Misionaris dan menggantikannya dengan bangunan megah. Tugas kita hanya merawat, namun kita tidak bisa. Merawat peninggalan para Misionaris saja tidak bisa apalagi merawat iman umat. Kutukan para Misionaris itu bisa kita saksikan sekarang bahwa di mana-mana banyak yang lebih suka membangun bangunan megah daripada merawat dan mengembangkan peninggalan para misionaris sehingga lupa membangun kerohanian iman umat.Satu hal yang bisa kita petik dan menjadi himkah misi Gereja saat ini adalah: merawat dan mengembangkan peninggalan iman para Misionaris dan bukannya menghancurkannya. Jika kita tidak mampu merawatnya, apalagi membangunnya...semoga Kutukan Misionaris tidak menjadi tragedi dalam Gereja kita.
Jeritan Jejak Para Misionaris Ulu Riam
INDONESIA LUPA INGATAN....
Pater Orgi MSF; Misionaris Belanda, saat awal datang di tanah Borneo Nusa Dayak pernah mengatakan; Orang Dayak sebenarnya sudah beragama dan beriman maka kehadiran kita sebagai para Misionaris adalah menyinari im
an dan agama mereka dengan terang iman yang baru tanpa harus menyingkirkan atau menghilangkan apa yang sudah hidup, tumbuh dan menjadi keyakinan yang mempersatukan ikatan sosial di dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat adat Dayak. Mereka sudah lama bersatu dengan keyakinan dan kepercayaan yang menjadi identitas hidup mereka sebagai orang Dayak.
Ungkapan Pater Orgi MSF ini mengingatkan saya pada perjumpaan saya dengan masyarakat adat suku SakSak beberapa bulan yang lalu saat saya berkunjung ke desa suku Saksak. Ketika saya bertanya apa yang menjadi kebudayaan orang suku Saksak, mereka menjawab yang diwakili oleh salah seorang masyarakat yang lancar berbahasa Indonesia demikian; Pak, seluruh masyarakat suku Saksak di sini beragama Islam, tapi budaya kami suku Saksak adalah budaya Hindu.
Keadaan dan keyakinan demikian mulai dan sedang dilupakan orang Indonesia yang kini mengakui hanya enam (6) agama saja di Indonesia. Orang Indonesia yang adalah orang-orang beragama meski hanya sebagian yang mulai meragukan akan keberadaan agama dan menjadi gnostik (saya pribadi tetap menghargai pilihan mereka) menjadi orang-orang beragama ala Eropa dan Timur Tengah ataupun orang-orang India, Vietnam dan China yang lupa ingatan bahwa sejatinya mereka lahir dan bertumbuh dari iman dan agama yang secara alami membentuk keyakinan dan kepercayaan mereka.
Kehadiran agama modern seakan menjadi kekuatan baru, meski sebagian besar masih menerima praktek lama di dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat adat yang disebut sebagai adat istiadat dan budaya, namun harus diakui bahwa masih banyak agama bersama penganutnya menjadikan ajaran-ajaran agamanya dan Kitab Sucinya untuk menghakimi bahkan menyingkirkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat adat yang dengan sendirinya membuat mereka tercabut dari akar kepercayaan mereka yang asali. Adat dan budaya seakan menjadi musuh agama-agama modern yang harus dibasmi atas nama keselamatan. Keselamatan seakan menjadi milik hanya orang-orang yang mengaku beragama Islam, Katolik, Konghuchu, Hindu dan Budha, maka yang terjadi adalah fanatisme agama yang berdampak pada kekerasan atas nama agama.
Kita sejatinya malu, mengapa kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan lebih nampak pada masyarakat adat yang hidup dengan keyakinan dan kepercayaan lamanya? Masyarakat Samin di wilayah Pantura misalnya, mereka tetap menunjukan identitas asli mereka yang nampak dalam perdamaian, kerukunan dan kekeluargaan meski Indonesia tidak mengakui mereka hanya karena mereka tidak memeluk salah satu agama dari ke enam agama yang diakui Indonesia. Sedangkan hadirnya agama-agama modern yang datang menyampaikan perdamaian dan keselamatan umat manusia, justru lebih banyak bertengkar membela kebenaran ajaran agama dan Kitab Suci mereka masing-masing. Masyarakat adat dengan keyakinan dan kepercayaan awalinya sangat dengan lingkungan hidup, yang menjadikan kayu-kayu besar dan batu-batu besar sebagai tempat ibadah mereka yang dengan sendirinya merupakan hukum adat untuk menjaga lingkungannya dari kerusakan, namun ketika kehadiran agama-agam modern yang menjadikan ruang gereja, mesjid, pura, Wihara dan Klenteng sebagai tempat ibadahnya, justru diam dan bungkam menatap kerusakan lingkungan hidup bahkan menjadi pelaku pengrusakan. Masyarakat adat yang menjadikan kejawen seperti di Jawa, Kharingan dan Belian seperti di Kalimantan, upacara bau lolon seperti di wilayah Lamaholot (Flores Timur) sebagai upacara peneguhan kekuasaan untuk memimpin dan melayani masyarakat dan menjadikan kekuasaan sebagai amanah untuk melayani masyarakat dan yang Transenden. Namun kehadiran agama untuk penganutnya yang menjadikan Alkitab, Al-Quran, Weda dan lainnya sebagai alat pengangakatan sumpah jabatan, tapi justru menjadikan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri, menindas dan merampok hak-hak masyarakat adat.
Indonesi telah lupa ingatan bahwa dia lahir dari adat istiadat dan budaya yang kini sudah tercabut dari akarnya sendiri oleh karena tidak mampu mendialogkan ajaran-ajaran iman agama yang dianutnya dengan adat istiadat dan budaya dalam semangat saling menghargai. Indonesia Lupa Ingatan bahwa kerukunan, kekeluargaan, perdamaian itu telah ada sejak awal mula peradaban dunia dan manusia sebelum masuknya agama-agama modern. Indonesia Lupa Ingatan bahwa sejatinya dia beragama hic et nunc (sekarang dan di sini) menurut adat istiadat dan budaya dari Sabang-Merauke dan bukannya beragama berdasarkan gaya hidup keagamaan Eropa, Timur Tengah, Vietnam, India dan China atau tempat lainnya.
Indonesia Lupa Ingatan, karena dia beragama namun menjadi pelaku koprupsi, pelaku penindasan, pelaku pengursakan lingkungan hidup dan pelaku pemiskinan rakyatnya, karena Indonesia Lupa Ingatan akan ke-Indonesiaanya beradat istiadat dan berbudaya....
Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang
an dan agama mereka dengan terang iman yang baru tanpa harus menyingkirkan atau menghilangkan apa yang sudah hidup, tumbuh dan menjadi keyakinan yang mempersatukan ikatan sosial di dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat adat Dayak. Mereka sudah lama bersatu dengan keyakinan dan kepercayaan yang menjadi identitas hidup mereka sebagai orang Dayak.
Ungkapan Pater Orgi MSF ini mengingatkan saya pada perjumpaan saya dengan masyarakat adat suku SakSak beberapa bulan yang lalu saat saya berkunjung ke desa suku Saksak. Ketika saya bertanya apa yang menjadi kebudayaan orang suku Saksak, mereka menjawab yang diwakili oleh salah seorang masyarakat yang lancar berbahasa Indonesia demikian; Pak, seluruh masyarakat suku Saksak di sini beragama Islam, tapi budaya kami suku Saksak adalah budaya Hindu.
Keadaan dan keyakinan demikian mulai dan sedang dilupakan orang Indonesia yang kini mengakui hanya enam (6) agama saja di Indonesia. Orang Indonesia yang adalah orang-orang beragama meski hanya sebagian yang mulai meragukan akan keberadaan agama dan menjadi gnostik (saya pribadi tetap menghargai pilihan mereka) menjadi orang-orang beragama ala Eropa dan Timur Tengah ataupun orang-orang India, Vietnam dan China yang lupa ingatan bahwa sejatinya mereka lahir dan bertumbuh dari iman dan agama yang secara alami membentuk keyakinan dan kepercayaan mereka.
Kehadiran agama modern seakan menjadi kekuatan baru, meski sebagian besar masih menerima praktek lama di dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat adat yang disebut sebagai adat istiadat dan budaya, namun harus diakui bahwa masih banyak agama bersama penganutnya menjadikan ajaran-ajaran agamanya dan Kitab Sucinya untuk menghakimi bahkan menyingkirkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat adat yang dengan sendirinya membuat mereka tercabut dari akar kepercayaan mereka yang asali. Adat dan budaya seakan menjadi musuh agama-agama modern yang harus dibasmi atas nama keselamatan. Keselamatan seakan menjadi milik hanya orang-orang yang mengaku beragama Islam, Katolik, Konghuchu, Hindu dan Budha, maka yang terjadi adalah fanatisme agama yang berdampak pada kekerasan atas nama agama.
Kita sejatinya malu, mengapa kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan lebih nampak pada masyarakat adat yang hidup dengan keyakinan dan kepercayaan lamanya? Masyarakat Samin di wilayah Pantura misalnya, mereka tetap menunjukan identitas asli mereka yang nampak dalam perdamaian, kerukunan dan kekeluargaan meski Indonesia tidak mengakui mereka hanya karena mereka tidak memeluk salah satu agama dari ke enam agama yang diakui Indonesia. Sedangkan hadirnya agama-agama modern yang datang menyampaikan perdamaian dan keselamatan umat manusia, justru lebih banyak bertengkar membela kebenaran ajaran agama dan Kitab Suci mereka masing-masing. Masyarakat adat dengan keyakinan dan kepercayaan awalinya sangat dengan lingkungan hidup, yang menjadikan kayu-kayu besar dan batu-batu besar sebagai tempat ibadah mereka yang dengan sendirinya merupakan hukum adat untuk menjaga lingkungannya dari kerusakan, namun ketika kehadiran agama-agam modern yang menjadikan ruang gereja, mesjid, pura, Wihara dan Klenteng sebagai tempat ibadahnya, justru diam dan bungkam menatap kerusakan lingkungan hidup bahkan menjadi pelaku pengrusakan. Masyarakat adat yang menjadikan kejawen seperti di Jawa, Kharingan dan Belian seperti di Kalimantan, upacara bau lolon seperti di wilayah Lamaholot (Flores Timur) sebagai upacara peneguhan kekuasaan untuk memimpin dan melayani masyarakat dan menjadikan kekuasaan sebagai amanah untuk melayani masyarakat dan yang Transenden. Namun kehadiran agama untuk penganutnya yang menjadikan Alkitab, Al-Quran, Weda dan lainnya sebagai alat pengangakatan sumpah jabatan, tapi justru menjadikan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri, menindas dan merampok hak-hak masyarakat adat.
Indonesi telah lupa ingatan bahwa dia lahir dari adat istiadat dan budaya yang kini sudah tercabut dari akarnya sendiri oleh karena tidak mampu mendialogkan ajaran-ajaran iman agama yang dianutnya dengan adat istiadat dan budaya dalam semangat saling menghargai. Indonesia Lupa Ingatan bahwa kerukunan, kekeluargaan, perdamaian itu telah ada sejak awal mula peradaban dunia dan manusia sebelum masuknya agama-agama modern. Indonesia Lupa Ingatan bahwa sejatinya dia beragama hic et nunc (sekarang dan di sini) menurut adat istiadat dan budaya dari Sabang-Merauke dan bukannya beragama berdasarkan gaya hidup keagamaan Eropa, Timur Tengah, Vietnam, India dan China atau tempat lainnya.
Indonesia Lupa Ingatan, karena dia beragama namun menjadi pelaku koprupsi, pelaku penindasan, pelaku pengursakan lingkungan hidup dan pelaku pemiskinan rakyatnya, karena Indonesia Lupa Ingatan akan ke-Indonesiaanya beradat istiadat dan berbudaya....
Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang
Ibu adalah Tanah Alam Bumi
Sekian lama telah terjadi kehancuran, sekian lam terjadi ketidak adilan kepada IBU, bagimana kita membantu IBU agar IBU membantu kita semua, perjalan panjang dan melelahkan, tapak kaki hinga berdara dan bernanah, yang terdengar di di telinga ini hanya kesengsaraan.
Sawit, HTI/HPH, pertambangan terus berjalan tapak kaki ini hingga ke tanah papua yang selalu kita dengar dengan lagunya papua yang indah hutan dan airnya begitu indah dan jernih, tapi semua itu hanya tinggal lagu hanya tinggal sair.
Kalimantan, Papua , Sumatra semua pulau besar yang begitu hebatnya dengan sumber daya alamnya, begitu banyak suber daya alam telah di keruk oleh para komrader dan selalu berkata atas nama rakyat bahwa semua hanya tuk mereka yang punya uang dan harta.
Tapak kakipun melangkah dalam tanah nan indah dan begitu suburnya, namun mereka menangis karnah IBU akan dikeruk para komprader Negara luar dan Negara ini, “ anaku aku masih kecil masih bisa melihat sagu phon madu yang begitu banyak madunya, ikan di air yang jernih, babi yang begitu banyak, payau begitu banyak tapi sekarang hanya tingal cerita nak “ tangisan dara telah mereka alami, tangisankupun tak dengar lagi hanya detak jantungku yang begitu kencang dan darahku bergemuruh.
IBU dirimu telah banyak memberikan kami makan, begitu kami lahir kami minum air sungi bersih itu, kami lahir melihat gunung menjulang nan indah dan begitu hijau, IBU kami minta maaf kami telah mengambil kakimu kami telah mengambil tanganmu apakah kami juga akan mengambil jatung dan hatimu.
IBU semua yang aku lihat waktu aku kecil semua tinggal cerita yang kulihat sekarang kumbangan bekas tambang yang dapat menengelamkan kami, kami lihat hamparan luas yang telah berubah menjadi tanah gersang yang akan di buka kebun sawit dan HTI, kemana lagi kami pergi IBU?
IBU maafkan kami telah menjual tanah kami demi segepok uang dan rupiah yang tak seberapa, padahal kami cukup makan darimu IBU, tanah dengan hamparan luas bak permadani telah membuat kami hidup, membuat kami sebesar ini, tapi kami lupa bahwa tanah ini adalah IBUku.
Bagaimana kami akan kembali ketanah ini, ketika kami telah meningal kami akan di kubut ketanahmu IBU, apakah kau akan kami terimah ketanahmu ketika kami telah menyia – nyiakan IBU, kematiaan kamipun tak cukup membayar kesalahan kami, begitu banyak kami telah meubah bontang tanah ini, begitu banyak kami telah menjual tanah ini.
Ingin kembali kubasuh tanahmu dengan daraku, ingin kukembali kumemanjat tebing gunungmu, agar dapat kuraih matahri itu dengan senyumku, Wahai alam dan IBU berikan kami kematiaan yang indah di atas tanahmu agar kami tak di bilang anak durhaka.*****
Among, Manokwari
Sawit, HTI/HPH, pertambangan terus berjalan tapak kaki ini hingga ke tanah papua yang selalu kita dengar dengan lagunya papua yang indah hutan dan airnya begitu indah dan jernih, tapi semua itu hanya tinggal lagu hanya tinggal sair.
Kalimantan, Papua , Sumatra semua pulau besar yang begitu hebatnya dengan sumber daya alamnya, begitu banyak suber daya alam telah di keruk oleh para komrader dan selalu berkata atas nama rakyat bahwa semua hanya tuk mereka yang punya uang dan harta.
Tapak kakipun melangkah dalam tanah nan indah dan begitu suburnya, namun mereka menangis karnah IBU akan dikeruk para komprader Negara luar dan Negara ini, “ anaku aku masih kecil masih bisa melihat sagu phon madu yang begitu banyak madunya, ikan di air yang jernih, babi yang begitu banyak, payau begitu banyak tapi sekarang hanya tingal cerita nak “ tangisan dara telah mereka alami, tangisankupun tak dengar lagi hanya detak jantungku yang begitu kencang dan darahku bergemuruh.
IBU dirimu telah banyak memberikan kami makan, begitu kami lahir kami minum air sungi bersih itu, kami lahir melihat gunung menjulang nan indah dan begitu hijau, IBU kami minta maaf kami telah mengambil kakimu kami telah mengambil tanganmu apakah kami juga akan mengambil jatung dan hatimu.
IBU semua yang aku lihat waktu aku kecil semua tinggal cerita yang kulihat sekarang kumbangan bekas tambang yang dapat menengelamkan kami, kami lihat hamparan luas yang telah berubah menjadi tanah gersang yang akan di buka kebun sawit dan HTI, kemana lagi kami pergi IBU?
IBU maafkan kami telah menjual tanah kami demi segepok uang dan rupiah yang tak seberapa, padahal kami cukup makan darimu IBU, tanah dengan hamparan luas bak permadani telah membuat kami hidup, membuat kami sebesar ini, tapi kami lupa bahwa tanah ini adalah IBUku.
Bagaimana kami akan kembali ketanah ini, ketika kami telah meningal kami akan di kubut ketanahmu IBU, apakah kau akan kami terimah ketanahmu ketika kami telah menyia – nyiakan IBU, kematiaan kamipun tak cukup membayar kesalahan kami, begitu banyak kami telah meubah bontang tanah ini, begitu banyak kami telah menjual tanah ini.
Ingin kembali kubasuh tanahmu dengan daraku, ingin kukembali kumemanjat tebing gunungmu, agar dapat kuraih matahri itu dengan senyumku, Wahai alam dan IBU berikan kami kematiaan yang indah di atas tanahmu agar kami tak di bilang anak durhaka.*****
Among, Manokwari
Sunday, July 29, 2012
BIAR PUN IA PEKERJA KASAR, TETAPI IA PENTING BAGIMU
(Injil hari ini: Mt 13:31-35)
Tradisi asli Kapusin jaman dulu tidak pernah mempunyai karyawan dapur (baca: ibu rumah tangga/tukang masak). Semua hal remeh-temeh di dapur diurus oleh Saudara sendiri. Yang bertugas di dapur juga bertanggung jawab mengurus segala hal yang berkaitan dengan rumah, misalnya menerima telepon dan juga urusan pintu (menyambut tamu).
Sebutlah seorang Santo terkenal dari Kapusin, Feliks Kantalice. Ia seorang bruder, berpendidikan seadanya saja. Mungkin karena kemampuan belajarnya yang kurang maka tidak bisa diberi pendidikan lanjut. Maka tugasnya adalah mengemis dari pintu ke pintu di kota Roma, berdoa bersama anak-anak, sekaligus juga bertugas mengurus dapur biara.
Kita tahu urusan dapur bukanlah urusan yang gampang dan disenangi banyak orang. Kebanyakn kita (termasuk saya) hanya mampu merasakan enaknya makanan yang dihasilkan dari dapur tetapi sering tidak tahu memasak. Semua itu hanya dikerjakan tangan petugas dapur. Suatu kali, katanya, Bruder Feliks sakit. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sehingga untuk keluar dari kamarnya menuju dapur pun tidak sanggup. Maka, para Saudara di komunitas bingung karena jam makan sudah tiba tetapi meja makanan masih kosong melompong.
Mereka akhirnya tahu, bruder Feliks (digelari: Deo Gratias) sedang terbaring di tempat tidurnya. Mau tak mau, para penghuni komunitas harus terjun langsung ke dapur menyiapkan makanan. Tapi, Anda tahu apa yang terjadi? Mereka malah bingung karena yang mereka butuhkan untuk memasak sulit ditemukan. Sendok penggoreng ada di mana, kuali disimpan di rak mana, minyak goreng ada di mana, tepung ditaruh di mana, cabe, bawang, merica dll disimpan di mana? Mereka kesulitan menemukannya. Setiap kali butuh sesuatu, seorang Saudara harus berlari ke kamar bruder Feliks untuk bertanya. Begitulah dalam kesulitan dan butuh waktu lama mereka akhirnya bisa makan. Terbukti, karya rendahan itu telah membuat bruder Feliks menjadi 'maskot' kesederhanaan dan kerendah-hatian seorang abdi Kristus. Ia akhirnya diberi gelar Santo, suatu penghargaan yang pantas atas karyanya yang tak dipandang kebanyakan orang.
Pekerjaan yang sering dianggap sebagian orang sebagai pekerjaan rendahan ternyata sangat rumit melakukannya jika tidak dibiasakan. Apa yang sering dianggap paling hina dan paling rendah sering menjadi paling penting dalam hidup. Apa yang sering tidak diperhitungkan orang, sering menjadi sangat berharga dalam hidup. Orang yang sering dipandang rendah pun malah sering menjadi 'penyelamat' dalam suatu persoalan.
Siapa sangka bahwa biji sesawi yang sangat kecil itu bisa menjadi tumpuan burung bersarang? Siapa sangka serbuk-serbuk tepung akan bisa menjadi roti besar dan lezat? Malahan pohon sesawi bisa mengalahkan besarnya pokok sayuran yang lain yang bijinya lebih besar. Jika biji itu tetap sebagai biji memang kita tidak akan tahu fungsi dan manfaatnya. Ketika kita menaburkannya ke tanah, barulah kita lihat hal yang sangat kecil itu ternyata bisa besar dan bermanfaat bagi hidup.
Kehidupan kita juga dipenuhi dengan sisi-sisi ini. Ada pejabat tinggi dan ada karyawan rendahan. Ada tuan dan ada hamba. Ada induk semang dan anak semang. Kita sering memandang sebelah mata jasa-jasa orang rendahan sebagai sesuatu yang tidak penting, padahal di sisi lain kita sangat membutuhkan mereka. Kita baru merasakan beratnya pekerjaan dapur: memasak, mencuci, menyetrika, mengepel rumah, menyapu halaman, kalau karyawan kita lagi cuti. Kita mulai mengeluh capek. Tetapi jika mereka bekerja seperti biasa malah kita kurang menyadari perannya yang sangat vital itu.
Yesus mengingatkan kita hari ini lewat perumpamaan biji sesawi (Mt 13:31-35). Dengan merenungkan firman ini, kita pun mampu menghargai jasa-jasa para pekerja kita, mengapresiasi hasil kerja mereka, dan tentu memberikan upah yang layak bagi mereka sebagai manusia. Dalam hal ini, kiranya kita tidak menganggap mereka sebagai budak yang setiap saat bisa kita perlakukan sesuka hati. Hargailah mereka sebagai sesama dan saudaramu, sebagai bagian penting dalam hidupmu. Biji sesawi itu memang rendah tetapi ternyata bisa menjadi besar mengalahkan sayuran yang lain. Tepung itu memang terdiri dari serbuk saja, tetapi bisa menjadi roti besar mengenyangkan perut. Marilah kita menghargai satu sama lain. Saya membutuhkan Anda, Anda juga pasti membutuhkan orang lain. Selamat pagi.
Deus Meus et Omnia
Tradisi asli Kapusin jaman dulu tidak pernah mempunyai karyawan dapur (baca: ibu rumah tangga/tukang masak). Semua hal remeh-temeh di dapur diurus oleh Saudara sendiri. Yang bertugas di dapur juga bertanggung jawab mengurus segala hal yang berkaitan dengan rumah, misalnya menerima telepon dan juga urusan pintu (menyambut tamu).
Sebutlah seorang Santo terkenal dari Kapusin, Feliks Kantalice. Ia seorang bruder, berpendidikan seadanya saja. Mungkin karena kemampuan belajarnya yang kurang maka tidak bisa diberi pendidikan lanjut. Maka tugasnya adalah mengemis dari pintu ke pintu di kota Roma, berdoa bersama anak-anak, sekaligus juga bertugas mengurus dapur biara.
Kita tahu urusan dapur bukanlah urusan yang gampang dan disenangi banyak orang. Kebanyakn kita (termasuk saya) hanya mampu merasakan enaknya makanan yang dihasilkan dari dapur tetapi sering tidak tahu memasak. Semua itu hanya dikerjakan tangan petugas dapur. Suatu kali, katanya, Bruder Feliks sakit. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sehingga untuk keluar dari kamarnya menuju dapur pun tidak sanggup. Maka, para Saudara di komunitas bingung karena jam makan sudah tiba tetapi meja makanan masih kosong melompong.
Mereka akhirnya tahu, bruder Feliks (digelari: Deo Gratias) sedang terbaring di tempat tidurnya. Mau tak mau, para penghuni komunitas harus terjun langsung ke dapur menyiapkan makanan. Tapi, Anda tahu apa yang terjadi? Mereka malah bingung karena yang mereka butuhkan untuk memasak sulit ditemukan. Sendok penggoreng ada di mana, kuali disimpan di rak mana, minyak goreng ada di mana, tepung ditaruh di mana, cabe, bawang, merica dll disimpan di mana? Mereka kesulitan menemukannya. Setiap kali butuh sesuatu, seorang Saudara harus berlari ke kamar bruder Feliks untuk bertanya. Begitulah dalam kesulitan dan butuh waktu lama mereka akhirnya bisa makan. Terbukti, karya rendahan itu telah membuat bruder Feliks menjadi 'maskot' kesederhanaan dan kerendah-hatian seorang abdi Kristus. Ia akhirnya diberi gelar Santo, suatu penghargaan yang pantas atas karyanya yang tak dipandang kebanyakan orang.
Pekerjaan yang sering dianggap sebagian orang sebagai pekerjaan rendahan ternyata sangat rumit melakukannya jika tidak dibiasakan. Apa yang sering dianggap paling hina dan paling rendah sering menjadi paling penting dalam hidup. Apa yang sering tidak diperhitungkan orang, sering menjadi sangat berharga dalam hidup. Orang yang sering dipandang rendah pun malah sering menjadi 'penyelamat' dalam suatu persoalan.
Siapa sangka bahwa biji sesawi yang sangat kecil itu bisa menjadi tumpuan burung bersarang? Siapa sangka serbuk-serbuk tepung akan bisa menjadi roti besar dan lezat? Malahan pohon sesawi bisa mengalahkan besarnya pokok sayuran yang lain yang bijinya lebih besar. Jika biji itu tetap sebagai biji memang kita tidak akan tahu fungsi dan manfaatnya. Ketika kita menaburkannya ke tanah, barulah kita lihat hal yang sangat kecil itu ternyata bisa besar dan bermanfaat bagi hidup.
Kehidupan kita juga dipenuhi dengan sisi-sisi ini. Ada pejabat tinggi dan ada karyawan rendahan. Ada tuan dan ada hamba. Ada induk semang dan anak semang. Kita sering memandang sebelah mata jasa-jasa orang rendahan sebagai sesuatu yang tidak penting, padahal di sisi lain kita sangat membutuhkan mereka. Kita baru merasakan beratnya pekerjaan dapur: memasak, mencuci, menyetrika, mengepel rumah, menyapu halaman, kalau karyawan kita lagi cuti. Kita mulai mengeluh capek. Tetapi jika mereka bekerja seperti biasa malah kita kurang menyadari perannya yang sangat vital itu.
Yesus mengingatkan kita hari ini lewat perumpamaan biji sesawi (Mt 13:31-35). Dengan merenungkan firman ini, kita pun mampu menghargai jasa-jasa para pekerja kita, mengapresiasi hasil kerja mereka, dan tentu memberikan upah yang layak bagi mereka sebagai manusia. Dalam hal ini, kiranya kita tidak menganggap mereka sebagai budak yang setiap saat bisa kita perlakukan sesuka hati. Hargailah mereka sebagai sesama dan saudaramu, sebagai bagian penting dalam hidupmu. Biji sesawi itu memang rendah tetapi ternyata bisa menjadi besar mengalahkan sayuran yang lain. Tepung itu memang terdiri dari serbuk saja, tetapi bisa menjadi roti besar mengenyangkan perut. Marilah kita menghargai satu sama lain. Saya membutuhkan Anda, Anda juga pasti membutuhkan orang lain. Selamat pagi.
Deus Meus et Omnia
RUANG BAGI KERAJAAN ALLAH
Sering kali kita menganggap remeh hal-hal yang kecil atau sepele, karen kita tidak menyadari bahwa hal-hal yang kecil dan sepele itu bisa menjadi persoalan yang besar. Misalnya awalnya hanya bintik kecil....jadi jerawat.....ooooo tahu-tahu jadi tumor ganas. Rakyat yang kecil dan lemah seringkali dipandang dengan sebelah mata, eeeeee ketika rakyat bersatu.... bisa melengserkan orang-orang yang berkuasa. Begitu juga ketika masih kanak-kanak belajar berbohong kecil-kecilan setelah dewasa menjadi koruptor....lhaaaa membuat laporan proyek fiktif. Maka jangan pernah menganggap remeh hal-hal yang kecil dan sepele. Kerajaan Allah juga diumpamakan seperti biji sesawi yang paling kecil dari segala jenis benih. Tetapi ketika biji itu tumbuh, ia lebih besar daripada sayuran lain bahkan menjadi pohon. Kekuatan Kerajaaan Allah juga mempunyai kualitas seperti itu dalam diri kita. Maka kekuatan Kerajaan Allah itu akan bergerak dan mengubah mutu hidup kita, secara pelan tapi pasti. Apakah kita memberikan ruang yang cukup bagi Kerajaan Allah itu sehingga tumbuh dan berkembang?????? ( Bdk. Mat. 13:31-35 ).
"Engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah melainkan apa yang dipikirkan manusia."
(Yak 2:1-9; Mrk 8:27-33)
"Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Kata orang, siapakah Aku ini?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi." Ia bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Petrus: "Engkau adalah Mesias!" Lalu Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia. Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia. Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Mrk 8:27-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Cukup banyak orang masih bersikap 'lamis', artinya manis di mulut tetapi pahit dalam cara hidup dan cara bertindak atau berperilaku. Ketika memberi sambutan, pengarahan atau kotbah atau instruksi dan nasihat kelihatan sebagai orang baik dan bijak (yang nampak dalam wacana atau omongannya), namun ternyata yang bersangkutan bermoral bejat, koruptor dan suka berselingkuh. Dalam Warta Gembira hari ini dikisahkan Petrus yang mengakui Yesus sebagai Mesias, yang datang dari Allah atau Allah yang menjadi manusia, namun tak lama kemudian mengingkariNya. Petrus tidak tahu apa yang dikatakan, yaitu bahwa Mesias harus menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi keselamatan jiwa seluruh bangsa di dunia. Rasanya hal senada juga dilakukan oleh mereka yang baru memasuki hidup baru, misalnya murid/pelajar/mahasiswa baru, suami-isteri baru, imam/bruder/suster baru, pegawai baru, pejabat baru dst.. Mengawali hidup baru kelihatan begitu bergairah dan gembira serta sukses, namun seiring dengan perjalanan waktu ketika harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan, kemudian menjadi kendor semangatnya serta mulai menyeleweng atau berselingkuh. Hal ini terjadi karena orang "bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia". Hidup baru yang telah diterimanya merupakan anugerah Allah, maka hendaknya dihayati dalam dan dengan pikiran Allah alias sesuai dengan kehendak Allah dan bukan mengikuti keinginan atau selera pribadi. Memang mengikuti kehendak Allah tak akan pernah lepas dari aneka tantangan, masalah dan hambatan, namun demikian marilah kita hadapi semuanya itu bersama dan bersatu dengan Allah, karena dengan demikian kita akan mampu mengatasi atau menyelesaikannya.
• "Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: "Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!", sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: "Berdirilah di sana!" atau: "Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!" (Yak 2:1-3). Apa yang dikatakan oleh Yakobus ini hemat saya sungguh merupakan pesan atau perintah moral yang cukup jelas, maka baiklah kita laksanakan atau hayati dengan sepenuh hati, kekuatan, jiwa dan pikiran. Kita diharapkan tidak memandang muka, membeda-bedakan karena kekayaan, jabatan, kecantikan atau ketampanan, dst.. karena kita semua adalah sama-sama ciptaan Allah, sama-sama beriman. Hendaknya jangan memandang dan menyikapi orang lain hanya tergantung apa yang kelihatan saja secara sekilas, melainkan perhatikan cara hidup dan cara bertindaknya; lihat dan dengarkan apa yang dilakukannya. Pengalaman saya pribadi dalam bergaul dengan aneka macam orang menunjukkan bahwa mereka yang kelihatannya tidak menarik dan mempesona ternyata memiliki ketundlusan hati yang sungguh menarik dan mempesona. Kerajaan Allah atau kehidupan beriman adalah kerajaan hati. Ada pepatah 'dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu'. Hanya mereka yang memiliki kepekaan hati terhadap orang lain akan mampu mengalami kedalaman hati pribadi maupun orang lain. Maka dengan ini kami berharap kepada orangtua untuk sedini mungkin mendidik dan membina anak-anaknya dalam hal saling memperhatikan alias saling memberi hati satu sama lain. Tentu saja pertama-tama dan terutama orangtua harus sungguh memperhatikan anak-anaknya.
"Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu" (Mzm 34:2-6)
Hidup itu berawal dari B dan berakhir di D
B: birth / lahir
D: death / mati
tapi diantara huruf B & D ada huruf C
C: choice / pilihan
hidup sllu menawarkan pilihan..
tersenyum ato marah..
memaafkan ato membalas..
mencintai ato membenci..
bersyukur ato mengeluh..
berharap ato putus asa..
baik ato jahat..
semangat ato malas..
tidak ada pilihan yg tanpa konsekuensi..
jd... ini lah hidup mu, hidup yg mas jalani sekarang..
pilihlah yg terbaik dr yg paling baik..!!
"Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Kata orang, siapakah Aku ini?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi." Ia bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Petrus: "Engkau adalah Mesias!" Lalu Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia. Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia. Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Mrk 8:27-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Cukup banyak orang masih bersikap 'lamis', artinya manis di mulut tetapi pahit dalam cara hidup dan cara bertindak atau berperilaku. Ketika memberi sambutan, pengarahan atau kotbah atau instruksi dan nasihat kelihatan sebagai orang baik dan bijak (yang nampak dalam wacana atau omongannya), namun ternyata yang bersangkutan bermoral bejat, koruptor dan suka berselingkuh. Dalam Warta Gembira hari ini dikisahkan Petrus yang mengakui Yesus sebagai Mesias, yang datang dari Allah atau Allah yang menjadi manusia, namun tak lama kemudian mengingkariNya. Petrus tidak tahu apa yang dikatakan, yaitu bahwa Mesias harus menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi keselamatan jiwa seluruh bangsa di dunia. Rasanya hal senada juga dilakukan oleh mereka yang baru memasuki hidup baru, misalnya murid/pelajar/mahasiswa baru, suami-isteri baru, imam/bruder/suster baru, pegawai baru, pejabat baru dst.. Mengawali hidup baru kelihatan begitu bergairah dan gembira serta sukses, namun seiring dengan perjalanan waktu ketika harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan, kemudian menjadi kendor semangatnya serta mulai menyeleweng atau berselingkuh. Hal ini terjadi karena orang "bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia". Hidup baru yang telah diterimanya merupakan anugerah Allah, maka hendaknya dihayati dalam dan dengan pikiran Allah alias sesuai dengan kehendak Allah dan bukan mengikuti keinginan atau selera pribadi. Memang mengikuti kehendak Allah tak akan pernah lepas dari aneka tantangan, masalah dan hambatan, namun demikian marilah kita hadapi semuanya itu bersama dan bersatu dengan Allah, karena dengan demikian kita akan mampu mengatasi atau menyelesaikannya.
• "Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: "Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!", sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: "Berdirilah di sana!" atau: "Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!" (Yak 2:1-3). Apa yang dikatakan oleh Yakobus ini hemat saya sungguh merupakan pesan atau perintah moral yang cukup jelas, maka baiklah kita laksanakan atau hayati dengan sepenuh hati, kekuatan, jiwa dan pikiran. Kita diharapkan tidak memandang muka, membeda-bedakan karena kekayaan, jabatan, kecantikan atau ketampanan, dst.. karena kita semua adalah sama-sama ciptaan Allah, sama-sama beriman. Hendaknya jangan memandang dan menyikapi orang lain hanya tergantung apa yang kelihatan saja secara sekilas, melainkan perhatikan cara hidup dan cara bertindaknya; lihat dan dengarkan apa yang dilakukannya. Pengalaman saya pribadi dalam bergaul dengan aneka macam orang menunjukkan bahwa mereka yang kelihatannya tidak menarik dan mempesona ternyata memiliki ketundlusan hati yang sungguh menarik dan mempesona. Kerajaan Allah atau kehidupan beriman adalah kerajaan hati. Ada pepatah 'dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu'. Hanya mereka yang memiliki kepekaan hati terhadap orang lain akan mampu mengalami kedalaman hati pribadi maupun orang lain. Maka dengan ini kami berharap kepada orangtua untuk sedini mungkin mendidik dan membina anak-anaknya dalam hal saling memperhatikan alias saling memberi hati satu sama lain. Tentu saja pertama-tama dan terutama orangtua harus sungguh memperhatikan anak-anaknya.
"Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu" (Mzm 34:2-6)
Hidup itu berawal dari B dan berakhir di D
B: birth / lahir
D: death / mati
tapi diantara huruf B & D ada huruf C
C: choice / pilihan
hidup sllu menawarkan pilihan..
tersenyum ato marah..
memaafkan ato membalas..
mencintai ato membenci..
bersyukur ato mengeluh..
berharap ato putus asa..
baik ato jahat..
semangat ato malas..
tidak ada pilihan yg tanpa konsekuensi..
jd... ini lah hidup mu, hidup yg mas jalani sekarang..
pilihlah yg terbaik dr yg paling baik..!!
Subscribe to:
Posts (Atom)