Pater Orgi MSF; Misionaris Belanda, saat awal datang di tanah Borneo Nusa Dayak pernah mengatakan; Orang Dayak sebenarnya sudah beragama dan beriman maka kehadiran kita sebagai para Misionaris adalah menyinari im
an dan agama mereka dengan terang iman yang baru tanpa harus menyingkirkan atau menghilangkan apa yang sudah hidup, tumbuh dan menjadi keyakinan yang mempersatukan ikatan sosial di dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat adat Dayak. Mereka sudah lama bersatu dengan keyakinan dan kepercayaan yang menjadi identitas hidup mereka sebagai orang Dayak.
Ungkapan Pater Orgi MSF ini mengingatkan saya pada perjumpaan saya dengan masyarakat adat suku SakSak beberapa bulan yang lalu saat saya berkunjung ke desa suku Saksak. Ketika saya bertanya apa yang menjadi kebudayaan orang suku Saksak, mereka menjawab yang diwakili oleh salah seorang masyarakat yang lancar berbahasa Indonesia demikian; Pak, seluruh masyarakat suku Saksak di sini beragama Islam, tapi budaya kami suku Saksak adalah budaya Hindu.
Keadaan dan keyakinan demikian mulai dan sedang dilupakan orang Indonesia yang kini mengakui hanya enam (6) agama saja di Indonesia. Orang Indonesia yang adalah orang-orang beragama meski hanya sebagian yang mulai meragukan akan keberadaan agama dan menjadi gnostik (saya pribadi tetap menghargai pilihan mereka) menjadi orang-orang beragama ala Eropa dan Timur Tengah ataupun orang-orang India, Vietnam dan China yang lupa ingatan bahwa sejatinya mereka lahir dan bertumbuh dari iman dan agama yang secara alami membentuk keyakinan dan kepercayaan mereka.
Kehadiran agama modern seakan menjadi kekuatan baru, meski sebagian besar masih menerima praktek lama di dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat adat yang disebut sebagai adat istiadat dan budaya, namun harus diakui bahwa masih banyak agama bersama penganutnya menjadikan ajaran-ajaran agamanya dan Kitab Sucinya untuk menghakimi bahkan menyingkirkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat adat yang dengan sendirinya membuat mereka tercabut dari akar kepercayaan mereka yang asali. Adat dan budaya seakan menjadi musuh agama-agama modern yang harus dibasmi atas nama keselamatan. Keselamatan seakan menjadi milik hanya orang-orang yang mengaku beragama Islam, Katolik, Konghuchu, Hindu dan Budha, maka yang terjadi adalah fanatisme agama yang berdampak pada kekerasan atas nama agama.
Kita sejatinya malu, mengapa kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan lebih nampak pada masyarakat adat yang hidup dengan keyakinan dan kepercayaan lamanya? Masyarakat Samin di wilayah Pantura misalnya, mereka tetap menunjukan identitas asli mereka yang nampak dalam perdamaian, kerukunan dan kekeluargaan meski Indonesia tidak mengakui mereka hanya karena mereka tidak memeluk salah satu agama dari ke enam agama yang diakui Indonesia. Sedangkan hadirnya agama-agama modern yang datang menyampaikan perdamaian dan keselamatan umat manusia, justru lebih banyak bertengkar membela kebenaran ajaran agama dan Kitab Suci mereka masing-masing. Masyarakat adat dengan keyakinan dan kepercayaan awalinya sangat dengan lingkungan hidup, yang menjadikan kayu-kayu besar dan batu-batu besar sebagai tempat ibadah mereka yang dengan sendirinya merupakan hukum adat untuk menjaga lingkungannya dari kerusakan, namun ketika kehadiran agama-agam modern yang menjadikan ruang gereja, mesjid, pura, Wihara dan Klenteng sebagai tempat ibadahnya, justru diam dan bungkam menatap kerusakan lingkungan hidup bahkan menjadi pelaku pengrusakan. Masyarakat adat yang menjadikan kejawen seperti di Jawa, Kharingan dan Belian seperti di Kalimantan, upacara bau lolon seperti di wilayah Lamaholot (Flores Timur) sebagai upacara peneguhan kekuasaan untuk memimpin dan melayani masyarakat dan menjadikan kekuasaan sebagai amanah untuk melayani masyarakat dan yang Transenden. Namun kehadiran agama untuk penganutnya yang menjadikan Alkitab, Al-Quran, Weda dan lainnya sebagai alat pengangakatan sumpah jabatan, tapi justru menjadikan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri, menindas dan merampok hak-hak masyarakat adat.
Indonesi telah lupa ingatan bahwa dia lahir dari adat istiadat dan budaya yang kini sudah tercabut dari akarnya sendiri oleh karena tidak mampu mendialogkan ajaran-ajaran iman agama yang dianutnya dengan adat istiadat dan budaya dalam semangat saling menghargai. Indonesia Lupa Ingatan bahwa kerukunan, kekeluargaan, perdamaian itu telah ada sejak awal mula peradaban dunia dan manusia sebelum masuknya agama-agama modern. Indonesia Lupa Ingatan bahwa sejatinya dia beragama hic et nunc (sekarang dan di sini) menurut adat istiadat dan budaya dari Sabang-Merauke dan bukannya beragama berdasarkan gaya hidup keagamaan Eropa, Timur Tengah, Vietnam, India dan China atau tempat lainnya.
Indonesia Lupa Ingatan, karena dia beragama namun menjadi pelaku koprupsi, pelaku penindasan, pelaku pengursakan lingkungan hidup dan pelaku pemiskinan rakyatnya, karena Indonesia Lupa Ingatan akan ke-Indonesiaanya beradat istiadat dan berbudaya....
Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang
No comments:
Post a Comment