24 Desember 2010, saat takbir sukacita malam Kudus, malam datangnya Raja Damai mengantarkan aku dalam tidur malamku, kubungkus sang Emanuel dalam selimut Kasihku, merindukan datangNya menyertai aku. Harapan menyongsongNya
dalam Fajar Harapan Baru kelahiranNya membuatku semakin kuat untuk menjalani kehidupanku ini. Membuatku semakin damai berada di antara saudara-saudariku yang silih berganti datang mengucapkan selamat Natal untukku.
KelahiranNya sebagai Saudara, ikut melahirkan banyak saudara, banyak saudari, banyak ibu baruku dalam satu iman yang memberi satu harapan bahwa kami adalah satu: satu dalam iman, harapan dan kasih untuk melaksanakan KehendakNya. Berada di tengah kesederhanan dan kekeluargaan menyemangatiku untuk tidak sekedar membuat kami satu saudara, satu ibu dalam satu Persekutuan Iman, melainkan menjadi kekuatan untuk melaksanakan KehendakNya yaitu menyebar kasih persaudaraan dalam semangat kekeluargaan. Di saat sukacita, kekeluargaan dan persaudaraan begitu meneguhkan dan menguatkan tapak jejak panggilanku ini, petaka yang tidak kuduga, bencana yang tidak kusangka menimpaku.
Malam sukacita, malam bahagia akan datangnya Sang Emanuel menjadi dukaku sepanjang masa, menjadi deritaku sepanjang zaman. Dia yang kusegani, kuhormati sebagai pengganti ayahku yang baru saja meninggalkan aku bersama ibu dan adik-adikku, dia yang kuterima sebagai pengayom, peneguh perjalanan panggilanku, akhirnya dia pula yang merampas mahkota kehidupanku di malam kudus itu dalam nada ancaman di tengah lelapku antara mimpi dan sadar dia berucap; jangan sampai aku melakukan tindakan bodoh jika kau melawan. Diam...atau kubunuh kau. Aku hanya menangis, merintih dan meratap dalam duka. Hidupku tak berarti lagi. Pagi-pagi aku kembali ke rumah, kusampaikan pada ibuku dan yang kuterima adalah tangisan duka keluarga.
Aku malu, malu pada diriku, malu pada Tuhanku, malu pada jalan panggilanku. Rasa maluku membuatku sadar bahwa meski catatan hitam ini menjadi luka bathinku sepanjang masa, namun adalah lebih baik kulepaskan kerudung suciku ini, karena bagiku di luar tembok biaraku akupun bisa melayani dan melaksanakan kehendak Tuhan bukan dalam topeng kebohongan dan kemunafikan, tetapi baiklah kulaksanakan kehendak Tuhan dalam hidupku sebagai seorang awam namun mampu bekerja sama dengan semua orang untuk terlaksanaknya Kehendak Tuhan lewat pemberian diri dan bakatku sebagai bentuk pelayananku pada Tuhan, sesama dan Gereja.
Dua tahun telah lewat. Aku berusaha bangkit untuk menata hidupku menatap masa depan. Semua kembali pada keputusan dan pilihanku untuk menjadi rekan sekerja, saudara seiman semua orang di dalam melaksanakan kehendak Tuhan. Dalam gelut perjuangan menata hidup membangun masa depanku; aku sadar ternyata saudara serumah, saudara seiman, saudara sepanggilan kadang lebih kejam dari pada saudara, keluarga yang kubangun karena bersama mau mewujudkan kehendak Tuhan lewat pelayanan tulus tanpa pamri. Kusadar bahwa ketika persaudaraan hanya karena hubungan darah, kekeluargaan hanya karena seiman seringkali justru mengantar pada semangat saling memanfaatkan, semangat saling menjatuhkan karena dasar bangunan persaudaraan dan kekeluargaan dibangun atas dasar suka sama suka atau karena kedekatan, kesamaan hoby, kesamaan suku, dan selera. Tapi ketika persaudaraan, kekeluargaan dibangun atas dasar kesadaran akan kehendak Tuhan, atas dasar Iman, Harapan dan Kasih maka persaudaraan dan kekeluargaan itu akan menjadi pancaran sukacita, damai yang memancarkan terang Kerajaan Allah karena bersama dengan peran masing-masing melaksanakan Kehendak Tuhan dalam semangat saling melindungi, saling mendukung dan saling meneguhkan (bdk. Mat 12:46-50).
Dalan ratap penuh duka...kutitipkan catatanku ini untuk mengingatkan kita semua bahwa kita bersaudara, berkeluarga karena kita beriman yang sama-sama melaksanakan kehendak Tuhan dan bukan karena melaksanakan kehendak pribadi yang membawa kehancuran dan duka. Semoga Persaudaraan dan Kekeluargaan kita menjadi jalan melaksanakan Kehendak Tuhan untuk saling melindungi, meneguhkan dan menguatkan dalam ziarah kehidupan kita. Jika kehendak pribadi yang dilaksanakan; maka kadang saudara, keluarga sendiri lebih kejam dari pada mereka yang berbeda agama, iman, suku dan budaya denganku justru lebih tulus dan melindungi karena bersama menjadi alat Tuhan untuk melaksanakan kehendakNya.
Catatan duka Ina di Malam Kudus
No comments:
Post a Comment