Sabtu, 25 Agustus 2012
Injil: Mat 23:1-12
Banyak orang merasa tak layak untuk berbicara atau mengucapkan kata-kata bijak yang menghibur dan menguatakan orang lain hanya karena terhalang oleh kritikan orang lain maupun kesadaran bahwa mereka kurang bahkan tidak mampu mempraktekkan apa yang mereka sendiri ucapkan dalam hidup mereka. Idealnya memang setiap orang harus mempraktekkan apa yang diucapkannya karena itulah sebuah kesaksian, tapi bila Anda punya kata-kata bijak, mengapa Anda tidak mau berbicara? Anda bisa mengubah orang lain tanpa harus menunjukkan apa yang Anda sendiri ucapkan, karena ketika Anda melakukan semuanya itu dengan jujur dan tulus, maka Tuhan sendirilah yang akan mengubah orang lain lewat kata-katamu.
Injil hari ini mengisahkan tentang kritik pedas Yesus kepada para Ahli Taurat dan Farisi bukan karena jabatan dan kedudukan mereka, melainkan karena ketidakmampuan mereka untuk mempratekkan apa yang mereka ajarkan dan ucapkan dengan indah dari mulut dan bibir mereka. Tuhan menghormati kedudukan, status dan jabatan apa pun yang Anda miliki saat ini, tapi hanya satu harapan-Nya semoga lewat itu, Anda semakin mendekatkan diri pada Tuhanmu dan menyatakan kehadiran-Nya dalam hidup orang lain.
Karena itu, kuajak para sahabat, daripada mengeritik orang lain, lebih baik bertanya diri: "Sejauh manakah aku telah melakukan kebenaran, yakni menyesuaikan apa yang kuucapkan dengan apa yang kupraktekan dalam hidupku?
Anda tidak harus sempurna dalam mempraktekkan apa yang Anda ucapkan, tapi kerelaanmu untuk mencoba menjadi teladan hidup bagi orang lain pasti menyenangkan hati Tuhanmu.
Intinya, jika Anda punya kata dan kalimat bijak...BERKATALAH! Jika Anda mampu berbuat baik...BERBUATLAH! Dan, bila Anda tidak punya keduanya...BERDOALAH!
basing
Friday, August 24, 2012
MENCARI DAN MENGEMBALIKAN KEKATOLIKAN YANG HILANG
Dalam sebuah diskusi dengan sebagian sesama masyarakatku dari Flores setelah misa arwah di Lingkungan Thomas Gg. Salam; kami sepakat bahwa nilai-nilai kekatolikan yang sejak turun temurun d
ihidupi oleh para leluhur Flores akhirnya sekarang hilang dan bahkan ternodai oleh praktek-praktek mabuk, berkelahi, asyik rokok, makan bakso saatnya komuni baru masuk di dalam gereja sebagaimana yang dipraktekan oleh sebagian orang Flores di tanah rantau ini, karena terjebak dalam pemahaman; yang penting khan dari rahim ibuku, saya sudah Katolik yang wajib ikut Misa Mingguan, Natal atau Paskah. Yang penting khan Katolik, mau katolik Napas (Natal paskah) atau apapun labelnya yang penting saya Katolik sehingga nilai-nilai iman kekatolikan yang menunjukan diri sebagai Katolik sejati dengan sendirinya hilang.
Kekatolikan tidak sekedar Katolik. Lebih dari itu Kekatolikan adalah Nilai-nilai iman yang menuntun dan menjadikan hidup dan pribadinya sebagai jalan bagi orang lain untuk diteladani. Kekatolikan adalah hakikat hidup sebagai yang beragama Katolik yaitu nilai-nilai iman dan ajaran Moral yang menjadi sarana untuk hidup dalam rahmat dan berkat Allah yang sekaligus membawa dan membagi rahmat dan berkat Allah itu kepada sesama. Kekatolikan berarti ciri khas yang melekat, langsung dikenal oleh orang lain meski tanpa harus menggunakan simbol-simbol Katolik itu sendiri.
Namun seiring perkembangan zaman, meski tidak semua Kekatolikan ini hampir tergesur oleh kesempitan cinta diri dan keangkuhan. Di lembaga-lembaga Pelayanan Katolik, baik itu Rumah Sakit, Sekolah dan Kampus napas Kekatolikan atas dasar Hukum Cinta Kasih dengan cepat tergantikan oleh Hukum Rimba, hukum uang dan kekuasaan. Hukum kekerasan yang dipraktekan oleh beberapa rumah sakit, lembaga pendidikan dan kampus Katolik melalui para pelaksana dan pemegang regulasi lembaga tersebut yang menindasa bawahan, karyawan dan bahkan pasien. Di lingkungan pemerintahan, pemangku kepentingan lebih mudah menebar pesona dilayani daripada melayani, merancang strategi korupsi daripada strategi pembangunan kesejahteraan bersama. Di lingkungan rumah tangga, martabat sakramental perkawinan dengan cepat dilecehkan oleh perpisahan, konflik dan mengangap perselingkuhan hal biasa. Tak luput pula wajah Gereja Universal di kalangan para imam, biarawan-biarawati, tercoreng oleh karena kegagalan dan ketidakmampuan di dalam menghayati dan menghidup janji imamat ataupun kaul-kaul kebiaraan yang dengan mudah tergesur oleh keegoisan, keangkuhan pemaksaan kehendak.
Kekatolikan yang semestinya menjadikan kita sebagai Katolik Sejati yang tidak hanya kesejatiaan itu didasarkan pada tidak mau menikah atau pacaran beda agama maupun gereja, tidak hanya sampai pada kesetiaan mempertahankan perkawinan dan janji imamat atau kaul seumur hidup namun lebih dari itu terletak pada relasi pribadi kita dengan Yesus melalui sakramen, doa, janji perkawinan, janji imamat dan kaul, janji baptis yang dengan sendirinya tanpa harus memperkenalkan orang langsung mengenal inilah Katolik Sejati kini semakin hilang oleh karena Nilai-Nilai Imanen: Nilai Kasih yang memuat Nilai Pengorbanan dalam Misi Pembebasan Yesus semakin hilang, karena bagi kita cukuplah menjadi Katolik seperti tertulis di KTP, cukuplah menjadi Katolik dengan mengikuti misa setiap hari Minggu.
"Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!" (Yoh 1:47), demikian sapaan Yesus pada Natanael (Bartolomeus). Yesus langsung mengenal Natanael sebelum Natanael memperkenalkan diri, karena dalam diri Natanael ada yang hakiki sebagai pengikut Kristus yaitu Relasi pribadi Natanael dengan Yesus dalam doa, dan misi. Yesus, maupun sesama akan berkat; "Lihat, inilah seorang Katolik sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!", ketika kita menghidupi yang hakiki dalam hidup kita yaitu Relasi Pribadi dengan Yesus dan sesama melalui doa, sakramen, janji perkawinan, janji imamat dan Kaul atas dasar Cinta Kasih dan Pengorbanan dalam mewartakan Misi Pembebasan Kristus dalam tindakan yang nyata. Apakah kita sungguh Katolik Sejati tanpa ada Kepalsuan...? Jujurlah pada Tuhan...!!
PS. St. Bartolomeus Rasul
Lie Jelivan msf
BOLEHKAH ORANG KATOLIK MAKAN BABI?
Pertanyaan ini lucu, dan semua orang mungkin tau jawabannya tapi banyak orang Katolik yang terjerat oleh ayat Kitab Suci Perjanjian Lama.. Dalam PL, ada beberapa ayat yang melarang makan babi..
Imamat 11:7 Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu.
Ulangan 14:8 Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya.
APAKAH DEMIKIAN? BERIKUT PENJELASANNYA!
1. Perihal larangan makanan tertentu adalah sehubungan dengan hukum yang menunjukkan hal haram atau tidak haram, dalam rangka hukum pentahiran/ pemurnian bangsa Israel. Dalam hukum ini dikatakan hal-hal yang haram dan bagaimana cara menghapuskan keharaman tersebut. Dalam hukum Imamat PL, hal “haram” menggambarkan keadaan seseorang yang karena perbuatan tertentu yang belum tentu perbuatan dosa, tidak dapat datang kepada Tuhan. Baik orangnya maupun penyebab kondisi orang itu dikatakan sebagai haram. Maka “haram”/ uncleanness, pada umumnya adalah bersifat eksternal, tidak selalu berkaitan dengan pelanggaran hukum moral, dan penghapusan keharaman tersebut juga merupakan sebuah upacara eksternal yang mengembalikan keadaan orang yang “tidak murni” tersebut ke kondisi sebelumnya.
Studi anthropologi telah menunjukkan bahwa pembedaan hal haram dan tidak haram dan pengertian-pengertian religius yang mendasari perbedaan itu telah tersebar luas dan sudah lama ada sebelum jaman bangsa Yahudi. Beberapa ide dan praktek ini diterapkan oleh bangsa Israel yang nomadis dan kemudian disyaratkan oleh Tuhan, sejauh mereka tidak bertentangan dengan kepercayaan Monotheistis dan sebagai cara untuk melatih bangsa Israel menuju standar yang lebih tinggi dalam hal kemurnian moral. Maka motif moral dan religius dari hukum kemurnian adalah seperti yang tertera dalam Im 11:44, “… haruslah kamu kudus , sebab Aku [Tuhan] ini kudus….”
2. Maka dasar untuk mengatakan suatu makanan haram atau tidak haram adalah dari segi kebersihan/ kesehatan, rasa enggan secara natural, pada tingkat tertentu pertimbangan religius, atau karena binatang-binatang tertentu mempunyai konotasi berhala ataupun tahyul. Pengertian binatang haram yang diterima pada saat itu salah satunya adalah yang berkuku belah, bersela panjang, tidak memamah biak (lih. Im 11:7, Ul 14:8), namun juga termasuk ikan yang tidak mempunyai sirip/ sisik ay.7-9, burung pemangsa ay. 13-19, serangga yang bersayap ay. 20-23, binatang reptilia ay. 29-38.
3. Maka kita melihat di sini, larangan untuk makan makanan yang haram tersebut berkaitan dengan maksud Allah untuk mengkuduskan umat-Nya. Setelah Kristus datang ke dunia, Kristuslah yang menjadi jalan yang jauh lebih mulia untuk mencapai kekudusan daripada segala hukum pemurnian tersebut. Maka hukum pengkudusan/ pemurnian ini sesungguhnya dipenuhi dengan sempurna, tidak dengan menhindari makanan yang dianggap haram namun dengan dengan kita menyambut Kristus yang adalah Putera Allah yang kudus, sang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) yang menjadi santapan rohani, ‘jalan’ yang menghantar kita kepada Allah Bapa (lih. Yoh 14:6). Bagi umat Katolik, hal ini kita terima pada saat kita menyambut Kristus sendiri dalam yaitu dalam Sabda Allah dan terutama di dalam Ekaristi.
Itulah sebabnya Yesus memberikan perintah ini, “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang…” (Mat 15:11, 18-20)
Hal ini juga kembali ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “…. dalam Tuhan Yesus… tidak ada sesuatu [makanan] yang najis dari dirinya sendiri….. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17). Juga, Rasul Petrus mengalami penglihatan bagaimana Allah tidak menyatakan makanan apapun sebagai haram, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram. (lih. Kis 10:15)
APA KESIMPULANNYA?
1. Memang bukan soal apa yang masuk yang menajiskan kita (lih. Mat 15:11), sehingga, dengan demikian makanan apapun (asalkan memang dari segi kesehatan layak dimakan) dapat kita makan, termasuk di dalamnya daging babi.
2. Namun jika dengan memakan daging babi itu seseorang menjadi batu sandungan bagi orang lain [terutama di hadapan orang-orang yang mengharamkan babi], maka sebaiknya ia tidak makan babi (lih. Rom 14:21). Hal inilah yang dianjurkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 8:13). Dalam hal ini memang diperlukan “prudence”/ kebijaksanaan dari pihak kita untuk menyikapinya dan memutuskannya.
Dikutip dari Situs Katolisitas
Thursday, August 23, 2012
WISUDAMU ADALAH TRAGEDIMU
Menjilid KTI (Karya Tulis Ilmiah) mereka saja, mereka kesulitan untuk menjilid karena biaya penjilidan belum terima dari orang tua. Untuk makan saja, kadang sehari cuma makan satu kali. Namun mereka tidak mengeluh
, mereka terus berjuang untuk menggapai cita-cita mereka. Tapi sayang para pelaksana pendidikan dan pemegang aturang dalam satu Yayasan tidak melihat usaha dan perjuangan itu namun malah melahirkan tragedi baru di tengah duka lama yang sedang mereka alami.
Saya kaget ketika mendengar dalam waktu lima (5) bulan satu orang Mahasiswa dari 94 Mahasiswa harus membayar Rp. 9.300.000,-. Mulai dari biaya studi tour dan BTCLS pada bulan Maret 2012 dengan bayaran Rp. 5. 400. 000, per orang maka dikali 94 mahasiswa= Rp. 507. 600. 000,-. Dari sekian banyak biaya yang dikeluarkan ini, para mahasiswapun tidak menerima rincian biaya secara jelas. Padahal kalau dihitung, untuk biaya studi tour dan BTCLS bayar Rp. 2.000.000,- per mahasiswa pun masih cukup dan lebih untuk biaya tiket studi tour (pesawat, bis, hotel termasuk makan) dan BTCLS bagi para mahasiswa dan sebagian dosen yang ikut. Yang menjadi persoalan kenapa para mahasiswa tidak diberi rincian biaya tiket pesawat Balikpapan-Surabaya (PP), Biaya bis Surabaya-Denpasar (PP) juga tidak diberitahu, termasuk penginapan dan makan dan juga masalah BTCLS. Para mahasiswapun diam, tak mengambil sikap dan tindakan meski tidak menerima transparansi dari sebuah kampus hanya karena takut dipersulit pada saat ujian.
Baru selang empat bulan, 23-27 Juli 2012, para mahasiswa kembali membayar Rp. 1. 900. 000,- untuk UAP (Ujian Akhir Program) dengan melakukan praktek di rumah sakit yang adalah satu Yayasan dengan tiga dosen penguji. Hal yang aneh, perlengkapan ujian digunakan dari Laboratorium Kampus, tapi masih harus bayar. Lalu kemana uang Lab yang dibayar setiap smester? Di mana Dana Sukarela yang minimal Rp. 3. 000. 000/mahasiswa itu yang katanya untuk pengadaan alat-alat Lab? Jika dikatakan untuk honor dosen penguji, maka saya rasa masing-masing mahasiswa cukup membayar Rp. 100.000 X 94= Rp. 9. 400. 000,- ITU SUDAH CUKUP BAHKAN LEBIH. Lagi-lagi inipun tidak ada perincian. Ketika mahasiswa meminta rincian biaya, alasannya karena sudah masuk rekening maka tidak bisa. Ketika mahasiswa meminta kembali kelebihan pembayaran, lagi-lagi alasan sudah masuk rekening jadi tidak bisa dikembalikan. Ah...memangnya ATM hanya bisa masuk, tapi tidak bisa ditarik kembali?
Dan kini berselang dua bulan, tepatnya tanggal 10 September 2012; mereka akan menikmati usaha dan perjuangan mereka lewat wisuda. Tapi beban biaya kembali terjadi: Rp. 2. 000. 000/mahasiswa. Rp. 2. 000. 000,- X 94= Rp. 188. 000. 000,-. Biaya yang sangat besar. Sayangnya banyak biaya ini mahasiswa yang merayakan sukacita wisuda mereka bersama orang tua, atau wali, atau om dan tante hanya disuguhi sekotak snack. Sedangkan pengangkat sumpah, anggota koor, dan tamu penting misalnya pengurus Yayasan, para dosen, dinas kesehatan menikmati uang para wisudawan di restaurant mewah. Jika alasan bayar hotel, palingan biaya hotel sekitar Rp. 30. 000. 000,- Biaya hotel Rp. 30. 000. 000,- jika masing-masing membayar Rp. 1.000.000,- bukankah masih ada sisa Rp. 64. 000. 000,- dan tentu masih cukup untuk prasmanan di mana para wisudawan, orang tua, tamu, para dosen dan koor bisa berbagi sukacita bersama di hotel tempat diadakan wisuda. Jika alasan sewa toga, kursi dan honor untuk pengangkat sumpah, maksimal berkisar Rp. 5. 000. 000,- Maka cukup bahkan lebih jika Rp. 1. 000. 000/ mahasiwa. Tapi mengapa harus Rp. 2. 000. 000? Lagi-lagi tidak ada perincian yang jelas...he diminta malah memarahi mahasiswa. Parahnya lagi, anggota koor yang merupakan anggota unit kegiatan kemahasiswaan di kampus masih dibayar Rp. 100.000,- dari uang para wisudawan. Katanya uang lelahlah, uang bensinlah. Bukankah itu tugas bidang kemahasiswan dan menjadi tanggung jawab kampus dan bukan dibebankan pada para wisudawan. Ah...kok ada pungli kampus kalau kaya gini. Membaca situasi ini saya hanya mengatakan; para Mahasiswa; WISUDAMU ADALAH TRAGEDIMU dan bukanya sukacita dan syukurmu.
Gugatan Nurani Terhadap Lembaga Pendidikan “K”
Lie Jelivan MSF
UNDANGAN TUHAN, UNDANGAN PERTOBATAN
Saya pernah ditanya; pastor kalau para pastor, suster, bruder dan frater, sudah jelas masuk surga yah. Saya menjawab; eits, belum tentu karena bukan soal kesalehan, bukan pula soal kesucian dan bukan sekedar mengimani tetapi lebih pada bagaimana hidup sebagai orang benar di balik kesalehan, kesucian dan iman. Singkatnya kesalehan, kesucian dan iman sejatinya membuat seseorang menjadi orang benar dalam bertindak. Bisa saja para pastor, suster, bruder dan frater malah menjadi penghuni yang layak di neraka hehehehe, jawabku bercanda.
Sebagian dari kita, baik penguasa dan umat beragama, merasa cukup dengan agamanya, dengan ibadahnya, dengan ajaran-ajarannya namun menolak untuk menjadi orang benar. Dan itu terlihat misalnya ketika kita menghadiri undangan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi misalnya, sebagian dari kita yang suka memakai busana entah baju atau rok seperti orang yang kekurangan kain selalu mengatakan, yang penting khan hati..kok soal pakaian misa diurus. Kita menghadiri undangan Tuhan dalam ibadah, namun kita menolak menjadi orang benar melalui berkat perutusan; setelah menerima berkat pulang dan gosip, jadilah marilah pergi kita diutus untuk gosip, setelah menerima berkat perutusan yang sejatinya pulang dan membawa berkat bagi orang lain, eh malah korupsi, jadilah marilah pergi kita diutus untuk korupsi. Banyak dari kita kaum berjubah tidak kalah hebohnya, yang penting khan misa soal aturan liturginya dijalankan dengan benar atau tidak, itu bukan masalah, akhirnya kita memberi berkat perutusan agar umat bisa menjadi berkat bagi sesama, tetapi kita sendiri justru tidak mau diutus untuk mewartakan kebenaran.
Kita baik penguasa maupun umat bergama; sebagian besar melihat undangan Tuhan hanya sebatas hari: hari Minggu Misa untuk umat Katolik atau ibadah bagi protestan, Jumad ibadah bagi umat Islam, namun tidak sampai pada kedalaman bathin, tidak masu dalam beningnya nurani bahwa itu adalah undangan Pertobatan untuk menjadi orang yang benar dalam hal penampilan fisik, dalam hal beribadah termasuk liturgi ibadah atau Perayaan Ekaristi untuk umat Katolik dalam hal perilaku manusia bukan men-tuhan-kan agama; yang penting khan soal hati, yang penting khan sudah menjalani ibadah dan membunuh nurani kemanusiaan, tapi menjadi orang benar yang mengantar manusia dan sesamanya untuk menjadi orang benar menjawab undangan Tuhan dalam Pertobatan.
Gus Dur mengatakan; Tuhan tidak perlu dibela. Karena Tuhan itu kuat dan kuasa. Dia tidak perlu dibela karena kalau dibela, itu artinya Tuhan itu lemah, tidak kuat dan tidak Maha Kuasa. Yang dibela adalah manusia, agar Allah dimuliakan. Pernyataan yang bagus yang mau mengungkapkan bahwa melalui agama kita diundang untuk pertobatan, mengantar sesama pada kebenaran dan hidup menjadi orang benar. Agama adalah Undangan Tuhan, Undangan Pertobatan agar dapat merayakan secara bersama pertobatan sebagai orang benar dan tidak semata-mata saleh dan suci, namun hidup bukan sebagai orang benar melainkan hidup sebagai pelaku kekerasan dan fanatisme sempit.
Undangan Tuhan dalam agama masing-masing menjadi Undangan Pertobatan, ketika kita mampu menyadari bahwa melalui ibadah yang adalah undangan Tuhan yang paling konkret bukan sebagai kewajiban melainkan semata-mata, pertama dan utama untuk membangun pertobatan termasuk soal penampilan fisik saat beribadah, memaknai ibadah sebagai jalan yang mengundang sesama untuk bertobat menjadi insan manusia yang benar yang dengan itu memancarkan hati nurani yang bening dan baru. Semoga kita sadar undangan Tuhan dalam misa atau shalat pertama-tama adalah undangan untuk bertobat hidup menjadi manusia yang benar dengan memiliki hati nurani yang benar dan baru pula.
Agama sejatinya adalah undangan Pertobatan
Kamis; 23 Agustus 2012
Lie Jelivan msf
Wednesday, August 22, 2012
"ENGKAULAH YANG MENENTUKAN"
Kamis, 23 Agustus 2012
Injil: Mat 22:1-14
"BANYAK YANG TERPANGGIL, TAPI SEDIKIT YANG TERPILIH"
Seperti fajar pagi, panas dan hujan tercurah dari langit untuk semua makluk, demikian pun keselamatan ditawarkan oleh Allah kepada setiap orang. Setiap orang mendapatkan undangan istimewa untuk masuk ke Kerajaan Allah. Meskipun demikian, kebebasan setiap orang sangat dihargai oleh Allah.
Dapat dikatakan bahwa "undangan telah terberi kepadamu, tapi di pintu masuk ruang pesta selalu diperiksa kembali undanganmu, yang harus engkau sendiri menandainya dengan perbuatan baikmu selama engkau diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini.
Karena itu, Aku selalu mengingatkanmu; "Ketika Allah menciptakanmu Ia tak pernah bertanya kepadamu, seperti apakah engkau atau dimanakah engkau lahir....Akan tetapi, sesaat ketika Allah ingin menyelamatkan engkau, maka Ia akan bertanya padamu; "Maukah engkau Kuselamatkan?" Allah memanggilmu, tapi menjadi sesuatu yang membanggakan dari pihak Allah bahwa engkaulah yang menentukan apakah jiwamu layak terpilih untuk berada bersama Allahmu atau tidak di dalam Kerajaan-Nya.
"ALLAH MENGUNDANGMU KE PESTA PERJAMUANNYA, TAPI KEBAIKANMU SELAMA HIDUP DI DUNIA ADALAH PAKAIAN KELAYAKAN UNTUK MASUK DAN MENIKMATI MENU PESTA ALLAH."
Injil: Mat 22:1-14
"BANYAK YANG TERPANGGIL, TAPI SEDIKIT YANG TERPILIH"
Seperti fajar pagi, panas dan hujan tercurah dari langit untuk semua makluk, demikian pun keselamatan ditawarkan oleh Allah kepada setiap orang. Setiap orang mendapatkan undangan istimewa untuk masuk ke Kerajaan Allah. Meskipun demikian, kebebasan setiap orang sangat dihargai oleh Allah.
Dapat dikatakan bahwa "undangan telah terberi kepadamu, tapi di pintu masuk ruang pesta selalu diperiksa kembali undanganmu, yang harus engkau sendiri menandainya dengan perbuatan baikmu selama engkau diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini.
Karena itu, Aku selalu mengingatkanmu; "Ketika Allah menciptakanmu Ia tak pernah bertanya kepadamu, seperti apakah engkau atau dimanakah engkau lahir....Akan tetapi, sesaat ketika Allah ingin menyelamatkan engkau, maka Ia akan bertanya padamu; "Maukah engkau Kuselamatkan?" Allah memanggilmu, tapi menjadi sesuatu yang membanggakan dari pihak Allah bahwa engkaulah yang menentukan apakah jiwamu layak terpilih untuk berada bersama Allahmu atau tidak di dalam Kerajaan-Nya.
"ALLAH MENGUNDANGMU KE PESTA PERJAMUANNYA, TAPI KEBAIKANMU SELAMA HIDUP DI DUNIA ADALAH PAKAIAN KELAYAKAN UNTUK MASUK DAN MENIKMATI MENU PESTA ALLAH."
MENGAPA GEREJA KATOLIK TIDAK MENERAPKAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN? APA DASARNYA?
Orang Katolik dalam beberapa kesempatan sering dikatakan sebagai orang pelit, susah untuk berbagi, karena memang "dari sononya" katanya ga ada tuh persepuluhan.. Apakah benar demikian? Apa ajaran Gereja Katolik tentang persepuluhan? Bagaimana orang Katolik seharusnya memberikan persembahan?
Dalam kitab suci PL, kita temukan beberapa ayat yang menerapkan persembahan persepuluhan sebagai sebuah KEHARUSAN.. Contohnya di bawah ini:
Abraham memberikan persembahan persepuluhan kepada imam agung Melkizedek (Kej 14:20). Juga dikatakan bahwa persembahan tersebut adalah sebanyak sepersepuluh (1 Sam 8:15; 1 Sam 8:17), yang menjadi suatu ekpresi akan pengakuan bahwa semua berkat berasal dari Tuhan (Kej 28:22). Dan peraturan ini juga ditegaskan di dalam kitab Imamat 27:30.
Sepersepuluh juga dapat berupa hasil bumi (Im 27:30), hasil ternak (Im 27:32); persembahan kepada Tuhan (2 Taw 31:6).
Dan akhirnya dipertegas di kitab Maleakhi 3:6-12, dimana di ayat 10 dikatakan “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”
Bagaimana Gereja Katolik mengartikan PL dalam terang PB tentang Persembahan Persepuluhan? Ini jawabannya!
1. Dalam Perjanjian Baru:
Rasul Paulus mengatakan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7) Rasul Paulus tidak mengatakan sepuluh persen, namun menekankan kerelaan hati dan sukacita.
Yesus mengatakan “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23)
Yesus menekankan akan hakekat dari pemberian, yaitu keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Yesus tidak menekankan akan persepuluhan, namun apa yang menjadi dasar perpuluhan.
2. Kitab Hukum Gereja:
Kan. 222 – § 1. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan.
§ 2. Mereka juga terikat kewajiban untuk memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu orang-orang miskin dengan penghasilannya sendiri.
Kan. 1262 – Umat beriman hendaknya mendukung Gereja dengan bantuan-bantuan yang diminta dan menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi para Uskup.
Kan. 1263 – Adalah hak Uskup diosesan, sesudah mendengarkan dewan keuangan dan dewan imam, mewajibkan untuk membayar pajak yang tak berlebihan bagi kepentingan-kepentingan keuskupan, badan-badan hukum publik yang dibawahkan olehnya, sepadan dengan penghasilan mereka; bagi orang-perorangan dan badan-badan hukum lain ia dapat mewajibkan pungutan luar biasa dan tak berlebihan hanya dalam kebutuhan
Jadi, TIDAK ADA yang mengatakan spesifik sepersepuluh bagian.
APA KESIMPULANNYA?
Dari dua dasar di atas, maka Gereja TIDAK PERLU mendefinisikan seberapa besar sumbangan yang harus diberikan, namun lebih kepada pemberian sesuai dengan kemampuan dan juga dengan kerelaan hati dan sukacita. Namun itu tidak berarti bahwa bagi yang mampu untuk memberikan lebih dari sepuluh persen kemudian hanya memberikan bagian yang sedikit. Bagi yang mampu, seharusnya bukan hanya sepuluh persen, namun malah lebih pada itu, jika diperlukan. Bagi kaum miskin yang memang tidak mampu untuk memberikan sepuluh persen, mereka dapat memberikan sesuai dengan kemampuan mereka. Persembahan juga tidak hanya berupa uang, namun juga bakat dan waktu. Yang terpenting, semua persembahan harus dilakukan berdasarkan kasih kita kepada Tuhan sehingga kita dapat mengasihi sesama dengan lebih baik.
Dikutip dari Situs Katolisitas
Subscribe to:
Posts (Atom)