(Kesaksian Misioner Seorang Istri)
Saya tidak akan meninggalkan bapak, saya tetap setia mendampinginya dan kalaupun Tuhan memanggilnya, biarlah dia meninggal di tanganku. Saya tidak mempersalahkan dia atas penyakit memat
ikan yang dialaminya, tapi ini kuterima sebagai salib yang harus kupikul bersamanya dan anak-anak kami. Orang mau mengatakan dan menilai apa tentang kami, tentang dia, bagiku; bapak tetap seorang suami yang terbaik. Aku percaya kemahakuasaan Tuhan senantiasa terjadi di tengah rumah tangga dan keluarga kami. Demikian ungkapan tulus sang istri dalam isak tangis di ruang tamu kemarin malam.
Apa sich yang dicari dalam pernikahan? Kebahagiaan? Kedamaian? Kerukunan? Persatuan? Kesetiaan? Bagaimana kebahagiaan bisa dialami, kalau tidak ada pengorbanan? Apakah masih ada kedamaian, jika tidak ada yang mau menderita? Masih adakah kerukunan, jika tidak ada ketulusan? Bertahankah persatuan jika masih ada yang lari dari kenyataan derita? Adakah kesetiaan jika telah mati nurani kemanusiaan?
Memang masih ada pasangan yang tetap setia bahkan rela berkorban untuk pasangannya di tengah badai penderitaan demi kedamaian, kebahagiaan, kerukunan, persatuan dan kesetiaan itu sendiri. Tapi paling tidak sosok seorang istri ini mengajarkan bagaimana menghidupi dan menghadirkan kemuliaan kebahagiaan, kedamaian, kerukunan, persatuan dan kesetiaan di tengah prahara keluarganya.
Ungkapan sang ibu di atas, menyadarkan saya bahwa kemuliaan seorang istri tidak sekedar terletak pada kecantikannya, tidak terletak pada kehebatannya memasak atau mengurus rumah tangga, tetapi kemuliaan seorang istri terletak pada ketulusan dan kedalaman mencintai dan melayani sang suami meski harus berhadapan dengan penderitaan dan sakit penyakit mematikan yang dialami sang suami. Cahaya mahkota kemuliaan sang istri justru dipancarkan lewat kesetiaannya untuk memikul bersama salib kehidupan rumah tangga dan bukannya mempersalahkan atau meninggalkan sang suami atas penyakit kelamin yang mematikan itu.
Mahkota kemuliaan pernikahan tidak hanya dialami saat suka, untung tapi juga di saat duka dan malang yang dari dalamnya melahirkan dan memancarkan kemilau kedamaian, terang kebahagiaan dan cahaya kerukunan, kesetiaan dan persatuan. Sang ibu bersama suami tercinta sedang berjalan menuju Kalvari. Sang istri menjadi Maria dan perempuan lain serta Simon dari Kirene yang setia menemani dan membantu perjalanan salib sang suami, bersama menjadikan Kalvari tempat menyematkan segala duka derita yang dari atas Kalvari mereka meyakini kemuliaan Tabor hadir dan lahir di dalam rumah tangga dan keluarga mereka yang memancarkan sinar kedamaian di sekitar tetangga mereka.
Di saat sebagian istri mengalami keputusasaan ketika mengetahui sang suami selingkuh atau mengalami sakit mematikan seperti HIV/AIDS dan berusaha untuk bercerai karena tidak mau menanggung malu dan aib di tengah masyarakat, sang Ibu ini justru menunjukan kepada dunia Mahkota Kemuliaan Pernikahan bersama sang suaminya dengan tidak menyalahkan sang suami atau pergi meninggalkannya, melainkan menerima penderitaan sakit yang dialami sang suami sebagai salib bersama yang harus dipikul bersama, yang dipancarkan dengan kesetiaan, ketulusan menjaga dan merawat sang suami; kalaupun bapak harus meninggal seturut kehendak Allah biarlah bapak meninggal di dalam pelukan kasih tanganku. Sang istri bersama sang suami di tengah prahara yang dialami oleh keluarga atas sakit yang diderita suami, sang Istri justru menunjukan kemuliaan Tabor dengan menghadirkan kemuliaan Yesus di dalam keluarga dan rumah tangga mereka sebagai MAHKOTA KEMULIAAN PERNIKAHAN MEREKA (bdk. Dan 17:9-10.13-14; Mrk 9:2-10). Masikah kita menghayati dan memaknai panggilan hidup kita masing-masing sebagai kehadiran kemuliaan Yesus di atas Tabor dalam keluarga, Gereja dan masyarakat kita...??
No comments:
Post a Comment