Oleh: Rm. Gregorius Hertanto MSC
Ibu Yenni sedih sekali karena kehilangan adik laki-laki satu-satunya. Tapi yang membuat dia sedih bukan hanya karena dengan begitu keluarganya kehilangan penerus. Melainkan ia “getun” dan menyesal karena biasanya tiap hari dia selalu berkontak dengannya. Hari itu, entah mengapa, ia selalu menunda SMS dan chatting melalui internet. Tak disangka, hari itu adalah hari terakhir. Adiknya terkena serangan jantung dan meninggal.
Pengalaman ibu Maria lain lagi. Suaminya meninggal karena dibunuh orang. Pembunuhnya bahkan sahabatnya sendiri yang merasa terancam karena hutangnya pada suami sangat banyak. Suaminya dibunuh karena sahabatnya itu ingin menghilangkan jejak saja. Dalam sedihnya ibu Maria bahkan sempat mempertanyakan imannya. Kalau suamiku baik, mengapa ia harus mati secara demikian. Dimanakah Allah saat ini?
Pengalaman mirip kedua ibu ini dialami oleh banyak orang. Terutama pada saat kehilangan saudara, anak, suami atau istri. Sering kehilangan itu ditambah rasa bersalah yang amat tinggi, karena kita tidak bisa melakukan ini dan itu. Sering pula kehilangan itu tak terterangkan. Rasanya kita baru saja bercakap-cakap, bersenda gurau dan sebagainya. Tiba-tiba saja orang yang kita sayangi sudah meninggalkan kita. Katanya Allah baik, mengapa Dia mengambil orang baik ini dari sisi kita.
Begitulah kematian adalah misteri. Dan itu benar. Baru saja kita merayakan Trihari Suci : Jumat Agung, Sabtu Suci dan Paskah. Dua di antaranya gampang kita ingat. Tapi Sabtu Suci? Siapa yang dengan khusuk merayakannya? Padahal Sabtu Suci punya makna arti yang tidak kurang dalamnya. Bukanlah suatu kebetulan belaka bila kita tiap tahun “merayakan” juga Sabtu Suci dalam rangkaian Trihari Suci. Tidak ada perayaan ekaristi pada hari ini. Kita berduka. Itulah hari dimana kita mengenang kegelapan makam. Yesus masuk ke tempat penantian dan mengalami kematian seperti semua orang. Dengannya Ia mau merangkul juga peristiwa misterius ini dan memasukkannya dalam peristiwa keselamatan.
Apa yang dibuat oleh Yesus pada saat “turun ke dunia orang mati”? Ajaran tradisional menghayati hari ini sebagai hari dimana Kristus yang menang atas maut menjemput orang-orang mati yang mendahului Dia. Dalam banyak lukisan orang suka menggambarkannya. Dalam sebuah ikon Rusia abad XV misalnya, Yesus dilukiskan datang ke kubur Adam dan Eva, dan menarik dari sana semua orang beriman yang hidup sebelum kedatangan Yesus. Itulah saat dimana “Limbus Patrorum” (=tempat penantian para bapa bangsa) dihapus. Di lukisan lain seperti misalnya dalam Maestà-nya Duccio (1255- 1319) di Katedral Siena, Yesus digambarkan berkotbah kepada semua orang-orang yang sudah mati. Orang-orang ini bangkit dari kubur pada saat penyalibannya dan datang ikut mengadili orang-orang yang tidak percaya pada pewartaan dan turut menyalibkan Yesus.
Hans Urs von Balthasar, seorang teolog dari Swiss (1905-1988), mempunyai keterangan lain. Dia menerjemahkan Sabtu Suci sebagai saat Yesus mengalami neraka sebagai situasi dimana orang sungguh menyangkal Tuhan. Maka kalau Yesus turun ke neraka (=sebuah terjemahan lain dari ‘turun ke dunia orang mati’), Yesus mengalami pada hari itu saat penyangkalan paling dalam dari manusia. Yesus mengalami neraka juga karena ditolak dan disalibkan oleh manusia. Penolakan itu bahkan sudah mulai sejak masa hidup-Nya, maka penolakan banyak orang atas pewartaan-Nya juga sudah bisa dibandingkan dengan situasi “dunia orang mati” itu. “Akulah Kebangkitan dan Hidup”, sabda Yesus, “barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”
Entah dari sudut penderitaan ataupun dari sisi kemenangan Yesus atas dunia orang mati, Sabtu Suci menjadi saat istimewa dimasukkannya peristiwa misterius hidup kita ke dalam peristiwa keselamatan. Dengan kebebasannya orang bisa bergerak ke dua arah: menerima Allah seperti yang diwahyukan oleh dan dalam Yesus atau menolak Allah itu dan dengan demikian menolak kehidupan. Bila saat Jumat Agung menjadi moment dimana penolakan mengental menjadi hasrat buta untuk membunuh, Sabtu Suci menjadi saat diamnya Allah menghadapi kebrutalan manusia itu. Tapi, diamnya Allah bukanlah mogok dan tidak berbuat apa-apa. Diamnya Allah berarti ganda. Di satu pihak Allah menjadi solider secara dalam dengan semua orang yang berhadapan dengan kematian tak adil ini. Di pihak lain, diamnya Allah adalah tindakan kebapaan terhadap orang yang menolaknya.
Seringkali, dalam menghadapi peristiwa kematian orang bertanya-tanya, mengapa begini dan begitu. Sabtu Suci mengatakan pada kita bahwa dalam situasi paling gelap pun kita masih mempunyai pegangan. Kata Mazmur: “Jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau,” (Mzm 139). Selain itu Sabtu Suci punya arti keselamatan bukan hanya untuk orang yang menderita saja, melainkan juga untuk orang berdosa. Upah dosa adalah maut, tetapi menghadap maut yang ngeri sekalipun, cinta Allah tidak berhenti. Allah tetap datang ke dalam kegelapan yang paling kelam sebagai terang. Kegelapan tidak menguasaiNya (bdk. Yoh 1,5). “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya,” (2 Tim 2,13). Dalam peristiwa Sabtu Suci Allah yang adalah kasih tetap ada di sana dengan kasihNya yang tak terhingga.
Sabtu Suci juga sering disebut Sabtu Sepi. Sayang sekali artinya yang dalam sering tersembunyi oleh persiapan Paskah yang hingar bingar. Pada hari Sabtu Suci orang biasanya sibuk dan tidak mempunyai kesempatan untuk merenung. Begitu juga dalam hidup kita, situasi sedih dan duka sering dianggap tidak bernilai. Konsentrasi kita sering terpusat pada pesta dan sorak sorai saja. Kesepian dan duka ditutupi. Padahal pengalaman menunjukkan, kalau kita mau menghadapi kesedihan dan penderitaan kita secara serius, kita dapat belajar tentang kebijaksanaan hidup. Sabtu Suci mengajak kita merangkul pengalaman itu seperti Allah sendiri dan menjadikannya sebagai bagian dari peristiwa keselamatan kita.
Bagi orang-orang seperti ibu Yenni, dan banyak orang baik lain yang mati dengan meninggalkan banyak pertanyaan, misteri iman hari Sabtu Suci dapat menjadi penghiburan luar biasa. Sabtu Suci adalah saat menerima penyertaan Allah yang solider ini. Allah tahu bahwa ada banyak penderitaan yang melampaui batas pengertian. Ada banyak derita yang tidak bisa kita tanggulangi dengan tindakan dan jawaban logis. Allah tahu bahwa kadang-kadang kita hanya bisa diam saja menghadapi derita dan pertanyaan “mengapa” yang menyertainya. Sabtu Suci menunjukkan bahwa dalam diam pun, ada kekuatan yang besar, ialah kekuatan untuk mencinta, untuk berharap dan untuk tetap percaya. Iman kita jelas: kalau Allah sudah turun ke dunia orang mati, maka dalam kematian pun kita tidak sendirian. Sesudah kematian dan kesedihan, kita selalu boleh menantikan hari Paskah yang membahagiakan.
No comments:
Post a Comment