Wednesday, May 2, 2012

BERNILAINYA NILAI BUDAYA: Masihkah Aku Memiliki Budaya??

Bali: Antara Romantisme Kuta dan Kearifan Lokal 27 April 2012, sekitar jam 14.00 waktu Denpasar aku bersama rombongan Komunitas Wirausahawan Katolik (KWK) Keuskupan Agung Samarinda tiba di bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar-Bali. Dari bandara saya bersama rombongan menuju rumah retret Carmelit di Bedugul untuk melaksanakan rekoleksi sehari dan selanjutnya besok pagi (28 April 2012) menuju ke Labuan Bajo tepatnya di Pulau Komodo. Sejak mendarat di bandara Ngurah Rai Denpasar-Bali, hingga masuk ke ruang pengambilan bagasi dan berjalan menyusuri lorong bandara menuju parkiran bandara, hal yang menarik perhatian saya, meski tidak semua adalah penampilan para pekerja bandara entah porter, entah penjual mengenakan pakaian adat khas Bali dan bahkan segala macam simbol adat berupa “pura” (simbol wali) yang dihiasi rangkaian kembang dan sesajen serta yang dibungkus dengan kain berwarna kuning ataupun kain kotak-kotak (Putih dan Hitam yang di tengah kedua warna ini ada warna abu) di tempatkan pada tempat yang mudah dilihat hingga di toilet bandara, hotel, mobil bahkan di batang-batang pohon. Menurut kepercayaan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu kain warna putih melambangkan kebaikan sedangkan warna hitam melambangkan kebatilan/kejahatan. Sedangkan warna abu di antara warna putih dan hitam melambangkan keseimbangan. Sesajen adalah persembahan masyarakat kepada para leluhur yang tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) harus disajikan kepada para leluhur dengan menempatkannya di depan pura. Sesajen pertama disajikan pada pagi hari yang mengungkapkan permintaan maaf kepada roh-roh untuk mengusir roh-roh jahat agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat ataupun keluarga setempat. Pemberian sesajen pada pagi hari harus diberikan sebelum sarapan pagi. Artinya yang pertama harus diberi makan adalah para leluhur. Biasanya juga di dalam sesajen itu juga diisi dengan kembang-kembang yang melambangkan kebajikan Allah dan manusia. Sepanjang perjalanan dari bandara menuju Bedugul sekitar dua setengah jam, aku merasa bangga dengan kesederhanaan wajah kota, paling tidak sepanjang jalan menuju Bedugul. Sisi kiri dan kanan jalan masih terdapat persawahan, dan pepohonan lainnya termasuk pohon kelapa yang ikut menghijaukan lingkungan masyarakat serta rumah warga yang sederhana namun menampakan ketenangan. Aku bertanya mengapa rumah warga, bahkan seluruh bangunan yang kuamati sepanjang jalan tidak melebihi pohon kelapa. Pertanyaanku ini akhirnya menemukan jawaban, alasan mengapa rumah atau bangunan apapun tidak boleh melebihi pohon kelapa karena hal ini berhubungan dengan lima (5) macam upacara agama Hindu yaitu: upacara potong gigi, upacara keagamaan (berhubungan dengan Tuhan), upacara kemasyarakatan (berhubungan dengan manusia-seperti pemberian nama pada bayi, di mana jika bayi belum berumur empat bulan, tidak boleh diberi nama), upacara yang berhubungan dengan binatang dan tumbuhan. Inti dari kelima upacara agama Hindu dalam hubungannya dengan pohon kelapa adalah saling melengkapi yang berlandaskan Kasih antara Tuhan dengan Manusia, Manusia dengan Manusia, dan manusia dengan ciptaan yang lain yaitu binatang dang tumbuhan. Pemandangan yang mengagumkan menyusuri jalanan pendakian Bedugul dihembusi dingin bukit Bedugul. Terpesona menatap bebukitan yang memperindah pesona Bedugul, rasa kagum dan bangga akan karya cipta masyarakat sekitar Bedugul, bukit-bukit seketika menjadi sebuah lahan pertanian yang dipenuhi sayur mayur aneka jenis, menghijau lereng Bedugul. Dinginnya lereng Bedugul mengantarku ke pembaringan dalam satu rasa: Damai memuji keagunganNya, seperti damainya alam Bali sepanjang jalan Bedugul yang menyatu dalam satu kearifan lokal sebuah jembatan antara budaya dan agama menciptakan kedamaian dan ketenangan bagi para penghuninya. Rasa kagum terus bergelora untuk memasuki ruang-ruang kehidupan insan Denpasar, tepatnya di wilayah Kuta dan Legian. Tanggak 30 April 2012, sekitar jam 21.30 wita aku bersama beberapa anggota rombongan menyusuri Kuta dan Legian. Suasananya sangat berbeda dengan situasi yang saya amati ketika melakukan perjalanan ke Bedugul. Sebuah situasi eksotik dan romantis yang dipertontonkan oleh touris-touris manca negara maupun domestik dengan aneka dandanan sepanjang jalan Kuta, memenuhi ruang-ruang bar dengan hiruk pikuk musik menghidupkan suasana kota. Discovery Shopping Mall seakan menjadi pertemuan insan manusia dari segala negara dan budaya, dan bar-bar menjadi “lumbung” aneka menu masakan dan rasa dari berbagai negara yang disegarkan oleh aneka macam minuman. Insan Denpasar seakan terlelap di tengah hiruk pikuk jalanan. Pemandangan dua dunia dalam satu bumi Denpasar Moon, antara rasa kagum di tengah kesederhanaan insan Budaya dan Agama yang mayoritas merupakan percikan budaya Hinduisme dan romantisme pantai Kuta, meyakinkan saya akan Betapa Bernilainya Nilai Budaya yang menjadi jembatan antara sebuah romantisme dengan kearifan lokal yang dihadirkan dalam simbol-simbol agama. Kearifan Lokal berupa budaya dan agama menjadi satu kesatuan yang tidak akan tergesur oleh hiruk pikuk pariwista ketika budaya menjadi nilai yang menjiwai segala romantisme Kuta. Atas pesona romantisme Kuta dan Keagungan nilai budaya Hindu, aku cukup bertanya; “Masikah Aku Memiliki Budaya?”

No comments:

Post a Comment