Menjadi seorang pejuang apalagi sosok sebagai perempuan berjuang di tengah aneka tekanan dan ancaman berhadapan dengan komplotan sekutu penguasa dan kapitalis, adalah sebuah pilihan beresiko yang harus diambil oleh satu dari sekian ribu kaum perempuan. Pejuang kemanusia dari kalangan perempuan boleh dihitung dengan jari. Misalkan saja di Indonesia: Cut Nyak Dien, R.A. Kartini. Meski demikian tidak jarang juga ada sebagian perempuan yang sebelumnya adalah sosok pejuang namun mulai terjerat dalam perangkap partai-partai politik yang membungkam suara juang mereka.
Namun tidak bagi sosok perempuan ini. Perempuan ini tetap memilih menjadi seorang pejuang sejati yang memberdayakan kaum perempuan lainnya di kampungnya meski imingan partai banyak yang mampir di tempat kerjanya, bujuk rayu kapitalis serta ancaman para preman kapitalis terus dialami. Semuanya dipandang sebagai resiko dari sebuah perjuangan atas sebuah pilihan Nurani.
Menjadi Berarti bagi Orang Lain
Perempuan yang selalu mengenakan celana jeans panjang itu berasal dari Kampung Long Isun, keturunan asli Dayak Bahau. Penampilannya selalu sederhana, ramah dan selalu menebar senyum dibingkai canda tawa. Sebuah tas ransel hitam berisi dokumen-dokumen penting tentang kelapa sawit selalu menjadi beban di punggungnya. Tidak ada yang istimewa dalam diri sosok perempuan Dayak Bahau ini. Dia sederhana, seakan menggambarkan dirinya adalah sosok perempuan biasa. Ramah dan bergaul dengan siapa saja dan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk pekerjaan kemanusiaan yang diberikan kepadanya. Nuraninya seakan menjadi samudera yang menyimpan segala suara ratapan, ide dan gagasan-gagasan perjuangannya demi dan bagi orang lain khususnya bagi kaumnya masyarakat adat Dayak.
Nuraninya yang menyimpan segala kesederhanaan, keramahan dan menyimpan kekayaan ide serta gagasan perjuangan itu disingkapkan dengan sebuah sikap dan tindakan patriotisme. 13 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1999, Sang Perempuan Dayak Bahau ini bersama beberapa rekan perempuan lainnya mulai memulai sebuah karya besar sebagai dasar perjuangan memberdayakan kaum perempuan adat Dayak dengan mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dinamakan Nurani Perempuan sebagai penjelmaan dari Nuraninya yang menjadi rahim segala ratapan kaum perempuan adat Dayak, yang mulai melahirkan sebuah wajah perjuangan mengangkat harkat dan martabat kaumnya.
Baginya; lahirnya Nurani Perempuan adalah bagian dari keprihatinannya atas persoalan sosial yang dihadapi oleh kaum perempuan Dayak dan masyarakat adat yang terkena dampak penggusuran dan limbah perusahaan kelapa sawit. Perempuan berusia 42 tahun saat ini, bersama rekan-rekan perempuan dalam rahim Nurani Perempuan mulai mengepakan sayap perjuangan, menjejakan langkah pengabdian mempertahankan peradaban adat istiadat dengan mendampingi masyarakat adat korban penggusuran perusahaan kelapa sawit, memberikan advokasi dan pemahaman pada masyarakat adat untuk tidak menjual tanah serta memberdayakan kaum perempuan adat Dayak dengan berbagai kerajinan anyaman rotan berupa gelang, tikar, lanja dan memperkenalkan pengelolaan obat-obat tradisional yang berada di hutan-hutan Dayak.
Sebuah perjuangan tak luput dari resiko, bahkan resiko itu tidak jarang datang dari sesama kaum perempuan Dayak sendiri yang hendak menggembosi gerak perjuangan Perempuan Dayak Bahau ini bahkan tidak jarang datang dari kaum lelaki preman yang menjadi kekuatan para kapitalis yang resah dan gerah dengan perjuangan para insan perempuan dari Nurani Perempuan. Segala tantangan tak pernah menyurutkan semangat juang sosok Perempuan Dayak Bahau ini untuk membelah masyarakat adat dan kaum Perempuan Adat Dayak karena baginya BERJUANG ADALAH PILIHAN HIDUP, KARENA SAYA MAU LAHIR, HADIR DAN BERARTI BAGI ORANG-ORANG KECIL YANG TERTINDAS DALAM HAL INI MASYARAKAT ADAT DAYAK, demikian ungkapnya.
18 tahun hidup dalam dunia gerakan di tengah usiaku yang makin menua, semakin membuatku untuk mendedikasikan seluruh hidupku dalam satu perjuangan NURANI untuk memanusiakan manusia dan masyarakat Adat khususnya kaum Perempuan Adat Dayak. Bahkan 18 tahun mempersembahkan hidup dan diriku dalam dunia pergerakan dan perjuangan mengangkat peradaban masyarakat adat dan kaum perempuan adat Dayak bagiku adalah sebuah “pernikahan” (meski aku sendiri tidak menikah), yang selalu membuatku merindukan kampung Dayakku, merindukan masyarakat adatku yang tertindas, merindukan kaum perempuan adatku yang semakin tersisih untuk selalu kembali merajut CINTA, menyatukan kerinduan kami bersama dalam satu tekad dan daya perjuangan yang tak kenal lelah dan kompromi.
Bagiku, perjuanganku bersama masyarakat adat dan kaum perempuan adat Dayak itulah CINTA yang menyatukan kami yang kupandang sebagai sebuah “pernikahan” yang tak mampu memisahkan kami dari satu nafas perjuangan demi keadilan dan kebenaran serta demi mempertahankan hak-hak masyarakat adat dan kaum perempuan adat Dayak meski harus menghadapi aneka macam tirani kehidupan.
Berkisah bersama perempuan Dayak Bahau yang kusapa dengan Trio Waka-Waka (masih ada dua temannya lagi); yang gigih berjuang sebagai seorang Perempuan Dayak, serta melihat semakin minimnya pilihan kaum perempuan Dayak lainnya untuk berjuang membangun keadaban dan peradaban masyarakat adat dan perempuan adat Dayak; tersulut sebuah kerinduan jiwaku; “AKU MERINDUKANMU PEREMPUAN DAYAK” untuk bangkit dan berjuang. Semoga spirit perjuangan Perempuan Adat Dayak ini, menjadi bara semangat bagi kaum perempuan adat Dayak lainnya untuk bangkit dan berjuang bagi masyarakat adat dan kaum Perempuan Adat Dayak di tengah ketidakadilan yang semakin mencengkeram hak-hak masyarakat adat dan kaum perempuan adat Dayak. Di penghujung kisah, seperti kerinduan Perempuan Dayak Bahau ini; aku merindukan sosok perempuan; “MERINDUKANMU PEREMPUAN DAYAK”.
Bangunlah wahai Bundaku untuk berjuang
Kudedikasikan untuk Sosok Perempuan Dayak
Jumad Pekan Pra Paskah V: 30 Maret 2012
No comments:
Post a Comment