Setelah misa malam kemarin, dengan uang intensi yang kudapatkan aku membeli beberapa buah mangga untuk saudaraku dan diriku. Lalu, singgahlah aku di toko roti untuk membeli beberapa roti yang akan menjadi santapan pagiku hari ini.
Karena sudah terbiasa dengan si penjual maka di depan pintu aku langsung mengangkat tangan kanan sambil menunjukkan kelima jari, dan tahulah dia bahwa saya memerlukan 5 roti seperti biasanya.
Sesaat ketika keluar dari toko roti itu, seorang pengemis duduk bersandar pada tiang listrik sambil mencoba menarik perhatian para putri dan pangerang kampus Universitas Ateneo-Manila, milik tarekat SJ yang kesohor di Filipina itu.
Aku pun hendak berlalu dari si pengemis itu. Tapi, hatiku mengingatkanku; “Kawan, engkau telah membeli beberapa buah mangga dan roti untuk saudaramu dan engkau dari intensi misa yang engkau dapatkan dari perjamuan-Ku, lalu apakah engkau mau membiarkan Aku kelaparan malam ini?” Bahkan Ia semakin menggugah hatiku ketika Ia berkata; “Dalam perjamuan-Ku, Akulah yang memberikan Tubuh dan Darah-Ku sebagai santapan jiwamu, tapi masakan sekarang, memberi sedikit saja makanan untuk perut-Ku yang lapar, engkau tak mau melakukannya? Itukah balasanmu kepada-Ku?” Teringatlah aku akan sabda-Nya; “Apa pun yang kau lakukan atau tidak lakukan kepada salah satu saudara-Ku yang paling hina ini, engkau lakukan atau tidak lakukan untuk-Ku.”
Kuayungkan balik langkahku dan memanggil si pengemis itu, lalu kuberikan 20 peso = Rp.4000 untuknya. Tanpa sepata kata pun ia segera mengambil lembaran uang di tanganku lalu berlalu dengan gerak cepat. Sesaat aku terhenyak dengan caranya ia mengambil uang itu dan tanpa mengucapkan seuntai terima kasih, tapi, hanya dengan senyum kecil di wajahnya, serta langkah cepat yang berlalu dari padaku, aku mengerti bahwa terima kasihnya adalah senyumnya, dan langkah cepatnya hendak mengisi perutnya yang sementara kosong.
Masih larut dalam memikirkan tingka laku si pengemis itu, Ia mengingatkanku; “Kawan, apa yang tidak bisa dilakukan oleh saudaraku untukmu, adalah bagian-Ku untuk memberi kepadamu.” Aku lalu mengambil sebuah roti, memakannya sambil pulang ke tempat kostku, dan menuliskan “cerita seorang kawan” yang kuposting kepadamu semalam.
Aku hanya mengatakan kepadamu, hindarilah penghakiman sepihak atas realitas hidup orang lain. Buanglah segala bentuk pertimbanganmu. Sesaat ketika ada yang membutuhkanmu maka berilah bantuanmu, karena mungkin saja Yesus tidak akan datang lagi kepadamu dalam diri orang dan pengalaman yang sama. Engkau mungkin bisa membantu yang lain di lain kesempatan, tapi ketika engkau tidak membantu seseorang di hari ini maka engkau pun akan menyesal karena kesempatan itu telah berlalu tanpa engkau di sana untuk memaknainya, atau pun engkau di sana tapi enggan untuk memaknainya.
No comments:
Post a Comment