Monday, April 2, 2012

BERTARUH HIDUP: ANTARA HUKUM DAN NURANI KEMANUSIAAN

Sekitar 3 jam lebih hadir dan bersuara bersama rekan-rekan mahasiswa organ pergerakan (sekitar 300an) untuk menyuarakan suara penolakan rencana kenaikan BBM oleh Presiden yang saat itu tengah terjadi voting oleh para wakil rakyat di Senayan. Sekitar jam 18.00 wita, Kantor Pos Polisi Lalu Lintas di sudut perempatan Lembuswana lemparan batu tak terduga dari para peserta aksi menghujani bangunan itu yang kemudian disertai dengan siraman bensin disulut bara api membakar kantor pos polisi lalu lintas. Para aparat berdiri sekitar beberapa meter dari lokasi kejadian tanpa ada reaksi apapun. Mereka tersebar di sekitar masjid Al Ma’Aruf tepat di sisi jalan Lembuswana. Sedang beberapa intel mulai beraksi dengan memotret dan merekam aksi pelemparan dan pembakaran kantor Pos Polisi Lalu Lintas.

Malam itu seakan terjadi kabung duka di tengah rencana kenaikan BBM dalam remang lidah-lidah api membakar seluruh “tubuh” tak bergerak simbol institusi kepolisian itu. Sekitar 30 menit di sekitar lokasi kejadian dalam birama kemarahan rekan mahasiswa organ pergerakan dan sorak “kepuasan” atas tragedi senja ini yang telah dilampiaskan, kamipun membubarkan diri. Bersama teman, saudari saya kamipun menuju parkiran mesjid Al Ma’Aruf untuk mengambil motor kami dan kembali ke pondok kami masing-masing. Persis di pintu samping mesjid kami berpapasan dengan salah seorang polisi yang memimpin para aparat kepolisian untuk mengawal aksi demonstrasi kami sore ini. Kamipun bersalaman; pak kami minta maaf karena ini di luar dugaan kita semua, demikian ungkapan permohonan maaf saya bersama saudariku. Iya, saya miris, menangis atas kejadian ini, balas bapak polisi ini dalam suara parau.

Setibanya di pastoran, aku langsung mandi dan sejenang membuka FB. Sekitar jam 20.30 Wita kuterima sms dari salah satu rekan pergerakan yang juga koordinator salah satu organ pergerakan kemahsiswaan di UNMUL yang bunyinya demikian; Pastor saya sedang dicari Intel. Yah setelah kejadian itu, detik itu juga para Intel mulai bergerilya mulai dari kampus UNMUL, UNTAG dan kos serta sekretariat organ pergerakan mahasiswa, mencari siapapun yang terekam dalam foto maupun kamera video saat terjadinya aksi pelemparan dan pembakaran. Membaca sms itu, saya langsung menelphon teman pergerakan ini; kamu tenang saja dan jangan keluar duluh. Biarkan situasi tenang duluh, demikian perintahku. Namun sekitar jam 22.00, temanku ini kembali menelphonku; pastor demi keselamatan teman-teman kami yang lain, apakah saya boleh tidur (“sembunyi”) malam ini di pastoran sampai situasi membaik? Tanpa berpikir panjang, demi keselamatan jiwa mereka, sayapun langsung menjawab; boleh...saya tunggu. Baru saja kuletakan hpku di samping laptop, nada dering tanda telphon masuk kembali bersuara; dari seberang seorang rekan mahasiswaku yang lain (Islam) menelphon; pastor, apakah aku juga boleh tidur di gereja duluh, karena saya juga masuk DPO. Tanpa berpikir panjang, demi keselamatan jiwanya aku menjawab bro, boleh bro...silahkan datang meski harus tidur di lantai, itu bukan masalah bagi seorang pejuang, demikian kata sediaku.

Sekitar jam 24.00 wita, mereka berduapun datang dengan diantar sekitar lima orang rekan kami yang lain. Akupun menyambut mereka dan membawa mereka masuk ke kamarku. Sejenak (sekitar 1 jam) kami berkisah dan mengevaluasi kejadian mencekam tadi sore. Letih tak bisa diajak kompromi lagi, kamipun berpamitan untuk melepaskan lelah hari ini dalam tidur malam ditengah cekam menakutkan. Setelah doa malam, aku membaringkan badanku. Mataku belum bisa diajak masuk dalam kelambu mimpi, sedang pikiranku menerawang akan resiko yang harus kuhadapi pula. Yah, jika akupun diketahui menyembunyikan rekan mahasiswa yang menjadi DPO pihak kepolisian malam ini, aku siap untuk menghadapinya. Bahkan jika ada umat yang marah karena mengetahui semuanya ini; akupun siap menghadapinya karena bagiku Tuhan tidak hanya ditemukan di bangku-bangku gereja. Aku tidak takut, meski kutahu secara hukum positif aku salah, namun secara hati nuraniku, aku tidak bisa membiarkan rekan-rekanku ini dalam ketakutan tanpa perlindungan. Bahwa di atas segala kekuatan hukum positif, hukum Nurani Kemanusiaan lebih tinggi. Secara hukum positif aku memang salah, namun tidak ada yang bisa menyalahkan Nurani Kemanusiaanku. Aku lebih berdosa ketika demi ketaatan pada hukum positif, aku mengorbankan rekanku yang secara nurani harus kulindungi dalam situasi gawat, sampai menunggu situasi aman baru kami melakukan proses hukum sesuai aturan hukum Indonesia, demikian kata-kata budiku malam ini di atas pembaringan.

No comments:

Post a Comment