Wednesday, April 25, 2012

NAMAKU WARSIH……….

Ya, itulah namaku, Warsih. Aku dilahirkan di sebuah desa di daerah Bantul, Yogyakarta, 32 tahun yang lalu. Tak ada yang istimewa padaku waktu itu ketika aku masih hidup di desa. Aku tidak cantik, kulitku juga tidak kuning langsat seperti gadis-gadis kota yang sering kulihat melintas di jalan Parangtritis, dekat desaku. Aku juga tidak sepandai mereka yang begitu pandai cas cis cus berbahasa Inggris dengan asiknya. Aku hanya seorang gadis desa biasa, yang hanya pintar menanam padi, angon wedhus, dan memanen telo. Aku, Warsih, begitulah mereka semua memanggilku. Namaku bukanlah nama yang istimewa. Hanya nama yang biasa, seperti nama-nama gadis desa dari tanah Jawa kebanyakan saja. Namun aku yakin, aku bukanlah seorang perempuan yang biasa-biasa saja. Aku adalah seorang perempuan yang kuat, bisa dibilang harus kuat, seorang perempuan yang tegar, bisa dibilang harus tegar, dan seorang perempuan yang istimewa, aku harus dan berusaha agar aku harus bisa menjadi seorang perempuan yang istimewa. Aku, Warsih, dulu hanya lulusan SMA, itupun karena susah payahnya Bapak dan Simbokku untuk menyekolahkanku. Bapak yang adalah seorang kusir andong, yang bercita-cita agar aku dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin, dan Simbok, yang merupakan buruh gendong di pasar, adalah orang-orang yang paling istimewa dalam hidupku. Dan mungkin memang sudah suratan takdirku, bahwa aku hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SMA saat itu, karena Bapakku, yang karena sakit paru-parunya yang sudah begitu parahnya, akhirnya meninggal sehari setelah hari kelulusanku. Pahit dan getir memang rasanya hidupku waktu itu. Kami juga tidak diperkenankan oleh nasib untuk berduka lama-lama, karena hidup harus terus berjalan. Sebulan setelah kepergian Bapakku, aku diajak temanku untuk mengadu nasib di Jakarta. Ya, Jakarta, yang katanya begitu terang benderang, begitu bersinar, dan begitu kejam. Ku tinggalkan Simbokku sendirian di desa untuk menjadi office girl di sebuah bank swasta di daerah Kuningan. Sampai saat itu hidupku jadi agak lumayan. Bahkan aku bisa mengirimi uang untuk Simbokku, walau hanya beberapa ratus ribu, namun bagiku saat itu, nominal itu adalah nominal terbesar seumur hidupku. Senang rasanya bisa membayangkan senyum gembira simbokku saat menerima uang hasil jerih payahku. Aku, Warsih, sang gadis desa itu, akhirnya terjerat masalah juga. Aku memiliki kekasih kurang lebih setahun setelah ku bekerja disitu. Kekasih, yang belum pernah aku punya seumur hidupku, karena sewaktu aku sekolah, entah karena memang aku yang tidak menarik, atau aku yang terlalu polos dan lugu, tidak ada yang menginginkanku untuk menjadikanku pacar. Begitu menyedihkan hidupku. Namun aku akhirnya memiliki kekasih juga, karena aku hanya seorang office girl, maka kekasihku ya tidak terlalu tinggi derajatnya dari aku, dia satpam di kantorku. Senang juga memiliki kekasih, ada yang menyayangi, ada yang memperhatikan, ada yang memeluk dan mencium, tapi tidak seperti yang simbok lakukan kepadaku. Dan masalahku muncul, setelah ciuman dan pelukan yang memabukkan itu. Kekasihku mengajakku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah. Dia mengajakku melakukan ’itu’. ”Cuma sekali ini saja dik, kan dosanya juga ndak banyak...” katanya waktu itu. Hmm.... takut sekali aku rasanya, karena aku dilema. Di satu sisi aku takut dengan perbuatan yang belum boleh ku lakukan itu, namun disisi lain aku takut kekasihku pergi dariku. Aku belum pernah memiliki kekasih, aku tak ingin apa yang kumiliki sekarang hilang dariku. Akhirnya kuputuskan untuk mengiyakannya. Keputusan yang betul-betul salah dan membuat kelam hidupku lebih dari sebelumnya. Setelah melakukan itu, kekasihku memang masih biasa-biasa saja, dia bahkan kurasakan menjadi lebih sayang dan dekat kepadaku. Tetapi setelah sebulan berlalu dan haidku tidak kunjung datang, minggatlah dia dari sisiku. Entah, tiba-tiba dia mengundurkan diri dan pindah kerja entah kemana tiga hari setelah mendengar aku tidak kunjung haid. Dan tinggallah aku, Warsih, yang lugu, polos, dan berwajah biasa-biasa saja itu dengan janin yang mulai tumbuh membesar dalam rahimku. ”Cuma sekali saja dik....” kata-kata itu masih kuingat jelas sampai sekarang, dan ku yakin tak akan pernah hilang dari benakku sampai ku mati nanti. Sekali, yang membuat kehidupanku berubah, yang menuntutku untuk menjadi Warsih yang tak lagi polos dan lugu lagi. Anakku akhirnya di angkat anak oleh Simbok. Dia, yang ku beri nama Anastasia Kinanti, seorang anak yang terlahir tak berbapak, tak pernah tahu siapa dan seperti apa bapaknya. Anakku yang ku kasihi dengan seluruh hidupku. Diatas kertas dia memang anak angkat simbokku, adik angkatku. Tapi dalam hidupku, dialah anakku, harta hasil perbuatan ’sekali’ ku, harta yang tak ada bandingnya dari semua harta di dunia ini, dalam hidupku. Tak perduli dengan apa kata orang tentang aku, tentang simbokku, bahkan tentang Kinanti anakku, aku harus terus bangkit dan berjalan, melanjutkan hidupku. Aku harus terus kuat dan tegar, bahkan walau mungkin ada jurang yang dalam dan tak berbatas menganga di depanku. Aku, Warsih, tetap harus melanjutkan hidupku, bersama simbokku dan Kinanti anakku, meski dengan banyak cibiran dan cemoohan dari seluruh desaku. Dengan sekuat tenaga aku kembali bekerja menjadi tenaga cleaning service di sebuah universitas swasta, sementara di malam hari aku menggantikan simbok menjadi buruh gendong di pasar Giwangan. Aku tak boleh jatuh, aku tak boleh lemah. Aku harus melanjutkan cita-cita Bapakku yang menginginkan aku anak satu-satunya untuk bersekolah setinggi-tingginya. Sekarang, Kinanti ku sudah duduk di kelas 6 SD, dan aku, setelah aku lulus S-1 dari sebuah universitas swasta dimana aku juga bekerja menjadi cleaning service pada siang harinya, saat ini aku dapat melanjutkan studi S-2 ku, dan aku tidak lagi menjadi seorang office girl, tidak lagi menjadi seorang cleaning service, aku adalah head supervisor di sebuah pabrik sarung tangan internasional, yang letaknya juga di Bantul. Namaku Warsih, Maria Suwarsih. Aku adalah seorang perempuan desa biasa, dengan wajah yang biasa, dengan kepandaian yang juga biasa, namun aku memiliki kehidupan yang luar biasa. Aku memiliki ketegaran dan kekuatan dalam menghadapi hidup yang luar biasa. Aku adalah seorang perempuan yang luar biasa dan istimewa. Dan itu semua ku dapatkan, karena aku tetap taat dan setia untuk mencintai Yesus Kristus, junjunganku.

No comments:

Post a Comment