Tuesday, April 17, 2012

“BU, BOLEHKAH AKU MEMBAWA PULANG UNTUK ADIKKU DI RUMAH?”

Mobil yang dikendarai oleh temanku berlari pelan mendapatkan tempat parkir di pinggir jalan di salah satu ruas jalan di ibu kota. Teman mengajakku untuk mampir di warung kaki lima, tempat yang selalu kurindukan bila ingin makan nasi goreng. Tak kusangkah di sana sudah ada seorang uskup dengan beberapa romo dan bruder, yang juga menyambangi warung kaki lima di kala malam tiba di ibu kota negara, Jakarta.

Tiba-tiba muncullah dua bocah seumuran 4-6 tahun sambil menawarkan buku bergambar, yang katanya hasil jualan itu akan digunakan untuk makan malam dan biaya sekolah mereka. Seorang bruder membeli satu buah buku karena kebetulan di asrama yang dikelolahnya ada juga para yatim piatu. Kedua bocah itu kemudian mendekati tempat duduk aku dan temanku sambil menawarkan buku dan beberapa barang lain di keranjang kecil yang tergantung indah pada dada mungil si gadis kecil itu, yang pintar menawarkan dagangannya sambil tersenyum mengetuk hati para pengunjung warung kaki lima itu di malam di ibu kota.

Melihat uratan-uratan kesedihan di wajah kedua bocah itu, temanku menawarkan makanan kepada mereka sambil berkata; “De, silakan duduk di sini bersama kami dan saya akan memesan makanan untuk kalian.” Si bocah lelaki lalu menjawab dengan polosnya yang membuat hati temanku tergetar haru mendengarnya; “Terima kasih bu atas tawarannya, tapi bolehkah aku memintah untuk dibungkus saja karena adikku juga sedang lapar di rumah? Aku ingin menyantapnya bersama adikku.” Hati terkoyak mendengar kata hati si bocah kecil ini, maka temanku langsung memesan 3 bungkus mie goreng, 2 untuk bocah kecil yang sedang berdiri di samping kami, sedangkan satunya lagi untuk adik si bocah itu.

Setelah mendapatkan 3 bungkus mie goreng itu, kedua bocah lalu keluar mencari tempat di sudut gedung besar di samping warung kaki lima itu sambil menikmati pemberian temanku. Ketika kami keluar ternyata kedua bocah itu hanya menyantap satu bungkus mie goreng sedangkan dua bungkus lainnya di simpan untuk dibawa pulang kepada adik-adiknya di rumah. Melihat kedua bocah yang sementara makan tanpa air untuk diminum, saya memintah temanku untuk membeli 2 botol teh untuk diberikan kepada mereka. Sungguh kerasnya hidup memang menciderai masa indah kanak-kanak mereka, namun jiwa mereka diajari oleh Sang Pencipta untuk menjadi bijak dan sopan terhadap orang lain. Apa yang kubayangkan ketika mendengar kata-kata si bocah itu, yakni Sang Pencipta memandang haru namun kagum atas ciptaan cilik-Nya itu.

Pikiranku melayang selama perjalanan pulang dalam lamunan yang tak bertepi seperti luasnya langit di malam hari di ibu kota Negara. Pelajaran penting yang kiranya diberikan oleh si bocah kepadaku dan kepadamu yakni “bagaimana dalam keadaan lapar, si bocah masih memikirkan tentang adiknya yang juga sedang lapar di rumah.” Bukankah hal yang paling lumrah terjadi pada manusia yakni ketika lapar atau menderita maka orang pertama yang dipikirkan adalah diri kita sendiri? Aku tahu orang lain menderita, lapar dan sakit tapi bagaimana dengan aku? Bukankah itulah yang biasanya kita lakukan? Akan tetapi, bocah ini telah memberi pelajaran bagi kita semua pada malam ini bahwa “masih banyak orang lain yang lebih lapar, miskin dan menderita daripada kita.”

Aku hanya berdoa dalam hatiku; “Tuhan, Engkau tahu bahwa malam ini sungguh menjadi malam yang sangat berarti. Si bocah-Mu telah memberi pelajaran tentang keutamaan hidup bagiku. Dalam keadaan lapar si bocah-Mu masih mau memikirkan orang lain yang lebih menderita, maka kumohon...bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untuknya dan sahabatnya. Semoga malam ini tidak menjadi malam yang mencekam bagi kedua bocah itu, tetapi biarlah mereka menikmati malam yang tenang dalam pelukan kasih-Mu.”

No comments:

Post a Comment