Monday, April 16, 2012

MEMPERTEMUKAN MASA DEPAN, TANPA MELUPAKAN MASA LALU

Sakitnya, ketika mengetahui bahwa apa yang dicita-citakan itu gagal, membuatnya stres. Bahkan sampai pada ungkapan Tuhan tidak adil dalam seluruh perjalanan hidupnya. Dia begitu benci dengan yang namanya seminaris, frater ataupun imam; “mengapa mereka bisa, aku tidak?”. Bahkan pengalaman kebencian mengantarnya pada miras, dan dunia malam yang hura-hura dan mabuk-mabukan. Belum berhenti di situ. Sakit muntaber dengan tensi darah 78 derajat melandanya di saat-saat menjelang EBTANAS membuatnya semakin yakin akan ketidakadilan Tuhan, membuatnya semakin frustrasi yang dibarengi dengan pengalaman traumatik pada bapanya, pengalaman kebencian pada sosok bapak. Setiap kali ketika sedang berceritera bersama kakak-kakaknya, dan bapaknyapun ikut nimbrung, dia langsung bangun dan tak mau berceritera lagi. Pengalaman itu terjadi selama kurang lebih dua tahun. Rangkaian pengalaman masa lalu yang membuatnya sakit dan benci ketika mengingat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Dia seakan tidak mau lagi kembali kepada kehidupannya yang semula; yang rajin ke gereja menjadi misdinar, mengikuti doa-doa lingkungan dan menemani pastor atau frater melakukan turne.

Mengenang masa lalunya adalah penderitaan, sakit bahkan dendam kusumat atas ziarah masa lalu dalam sebuah tanya; mengapa aku harus dilahirkan jika derita yang kuterima? Sebuah pergulatan antara menerima kenyataan masa lalu, atau menyembunyikan bahkan mendendam demi sebuah gengsi meski hatinya selalu menghakimi mengapa harus menyembunyikan dan mendendam hidupmu sendiri. Setelah melewati hari-hari dalam kesibukan, jatuh bangun antara idealisme dan kegagalan di tengah perjalanan waktu, dia akhirnya sadar bahwa dia seharusnya belajar pada masa lalunya. Terutama belajar berdamai dengan masa lalu jika ingin menerima kenyataan hari ini untuk perjalanan di hari esok. Dia sadari bahwa pengalaman pahit hari ini tidak jauh berbeda dengan kenyataan getir hari kemarin. Dia alami bahwa jatuh bangun hari ini tidak jauh menyimpang dengan keterpurukannya hari yang lalu.

Berangkat dari kesadarannya itu, dia akhirnya menemukan bahwa dia hanya mampu meniti perjalanan masa depan ketika dia mampu mensyukuri pengalaman pahit masa lalunya. Realita derita masa lalu dan hari ini bukan kesalahan orang lain, ayahnya apalagi Tuhan, melainkan kelalaiannya sendiri. Dia hanya bisa kokoh bertahan, menerima kenyataan hari ini ketika dia mampu dan berani untuk memaafkan pengalaman getir masa lalunya; bahwa pengalaman masa lalu adalah proses belajar menggembleng bathin dan imannya. Berangkat dari kesadarannya itu; dia akhirnya mempertemukan masa depannya dalam sebuah ziarah cita-cita tanpa melupakan pengalaman masa lalu. Dia sadar bahwa untuk mencapai idealismenya di tengah kenyataan suka dan duka, untung dan malang ketika dia mampu mempertemukan masa depannya pada hari ini dengan mensyukuri betapa berharganya pengalaman masa lalu. Kesadarannya itu akhirnya membawa dia lahir sebagai sosok baru yang kembali pada jalan imannya yang telah ditandai dengan pembaptisan (Yoh 3:1-8). Dia lahir sebagai manusia baru yang tak pernah mengeluh, protes, ataupun sakit dan frustrasi, melainkan menjadi manusia baru yang kuat, tegar dan baginya duka hari ini dan derita masa depan adalah sebuah nilai kehidupan yang menjadikannya manusia beriman. Diapun sadar menjadi manusia beriman adalah yang mampu mendamaikan kisah masa lalunya dengan kisahnya hari ini. Baginya kisah masa lalu dan kisahnya hari ini adalah sebuah pertemuan meniti masa depan untuk lebih damai yang hanya bisa diraih ketika ada kemampuan dan keberanian untuk MEMAAFKAN.

Kita semua memiliki pengalaman masa lalu yang menyakitkan dan membuat kita tidak nyaman dan damai menjalani kisah sedih hari ini. Kita hanya mampu menerima segala kenyataan di masa depan, ketika ada keberanian dan kemauan untuk BERDAMAI DENGAN MASA LALU, MEMAAFKANNYA SEBAGAI SEBUAH PERTEMUAN MASA DEPAN, TANPA MELUPAKAN MASA LALU YANG MELAHIRKAN KITA SEBAGAI MANUSIA BARU YANG BERIMAN. SELAMAT MERENUNG.

No comments:

Post a Comment