Monday, March 12, 2012

"DERITA TERSEMBUNYI SEORANG ROMO"

"Kawan, teman kita itu memutuskan untuk kembali tinggal di rumah ayahnya yang sementara sakit stroke, sementara adik-adiknya tidak melanjutkan sekolah mereka hanya karena ayah tumpuan harapan mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk anak-anaknya."

Sepenggal kalimat di atas seakan mengiris hatiku yang lagi menyantap makan malam dalam rangkah merayakan kelulusan dua orang teman yang telah menyelesaikan ujian thesis mereka semalam. Makanan enak yang ada di hadapanku terasa hambar di dalam mulut karena memikirkan sahabatku, seorang romo yang diharapkan oleh tarekatnya untuk menjadi pimpinan tapi memutuskan untuk kembali ke rumah, merawat ayahnya yang sementara sakit, dan membiayai sekolah adik-adiknya.

Perkenalan dengan romo Filipina itu terjadi pada tahun 2008 ketika aku dan beberapa romo dan suster dari negara-negara Asia berkumpul di sebuah tempat di luar kota Manila selama 8 bulan untuk mengikuti kursus "On going Formation = Pembinaan para pembina." Mengenal romo itu, apalagi ia pernah bekerja selama 6 tahun di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia semakin membuat kelompok kursus itu semakin ramai dalam percakapan setiap hari karena 13 orang dari 30 orang peserta kursus itu berasal dari Indonesia (keuskupan dan tarekat yang berbeda).

Beliau masih muda, tampan dan menurut pengamatan banyak teman beliau akan menjadi seorang pemimpin hebat di tarekatnya. Setelah kursus itu, pada tahun 2009 beliau ditugaskan oleh tarekatnya untuk menjadi pemimpin novisiat, dan pernah mengundangku untuk memberikan rekoleksi selama 3 hari kepada frater-fraternya pada akhir tahun 2009.

Setelah itu, beliau seakan menghilang. Di antara kami angkatan kursus pembinaan itu saling bertanya lewat email tentang beliau tapi tidak ada kabar berita sampai tadi malam aku dikagetkan oleh berita tentang dia dari teman lain yang kebetulan masih sama-sama masih di Manila dan menghadiri acara syukuran semalam.

Cerita singkatnya, penderitaan (sakit stroke) yang diderita ayahnya yang seakan takan sembuh, terlantarnya adik-adiknya yang harus putus sekolah memaksa sang romo untuk mengambil keputusan meninggalkan biaranya (walaupun statusnya sebagai romo belum ditinggalkan) untuk merawat ayahnya dan membiayai sekolah adik-adiknya lewat bekerja sebagai pekerja di sebuah perusahaan swasta di kota lain di luar Manila.

Rasanya sulit dipercaya tapi itulah kenyataannya dalam kehidupan beberapa romo. Mungkin kehidupan "mewah" beberapa romo di kota-kota besar membuat kita merasa muak dan mengeritik para romo, tapi jauh di beberapa tempat, ada saja romo-romo yang berjuang bertahan hidup dengan kerja dan pengorbanan diri. Tidak semua romo itu kaya. Tidak semua romo itu punya uang, handphone dan mobil mewah, dan beragam kekayaan dan kemudahan lainnya. Selalu saja ada derita-derita yang tersembunyi dari beberapa romo yang tidak mau dieskpos kepada umat, tapi mereka mau menghadapi sendiri dengan kekuatan dan kelemahan mereka sebagai seorang manusia biasa.

Malam ini, kuajak Anda sekalian sahabat-sahabatku di dunia facebook untuk menyatuhkan hati mendoakan saudaraku ini. Ia pasti tidak tahu tentang kisahnya yang kutuliskan kepadamu malam ini, tapi aku percaya bahwa batinnya pasti merasakan adanya getaran kekuatan yang meneguhkannya. Sama seperti harapan para pemimpin tarekatnya yang menanti kepulangannya ke biara sebagai seorang romo, maka biarlah Tuhan yang telah memanggil dia menjadi imam-Nya, mendengar jeritan hati dan batinya saat ini, terutama niat luhurnya untuk menjaga dan merawat ayahnya yang sementara sakit dan menyekolahkan adik-adiknya.

Seuntai doa darimu malam ini pasti akan menjadi kekuatan baginya untuk menjalani kehidupannya saat ini. Dan, kita semua berharap bahwa suatu hari, beliau akan kembali ke biaranya sebagai seorang imam untuk Tuhan dan umat-Nya.

No comments:

Post a Comment